Sekelumit tentang tari topeng Malangan yang pernah ane samperin...
Topeng Malang
merupakan pementasan wayang Gedog yang dalam pertunjukannya mempergunakan
topeng. Dalam perkembangannya di Kedungmoro dan Polowijen, Kecamatan Blimbing,
Malang yang dikenal dengan sebutan Topeng Jabung. Dalam pementasannya
mengetengahkan ceritera-ceritera Panji dengan tokoh-tokohnya seperti : Panji
Inu Kertapati, Klana Swandana, Dewi Ragil Kuning, Raden Gunungsari, dll. Para
penari mengenakan topeng dan menari sesuai dengan karakter tokoh yang
dimainkan. Dalam pementasan dipergunakan tirai yang terbelah tengah sebagai
pintu keluar/masuk para penarinya.
Maestro Topeng
Malang, yang tetap melestarikannya adalah Alm. Mbah Karimun bersama istrinya
Siti Maryam, dengan tetap melatih anak-anak kecil di lingkungannya untuk
belajar membuat Topeng Malang dan tari Topeng Malangan.
A.
Pengertian Topeng Malang
Menurut KBBI, tari adalah gerakan
badan yang berirama, biasanya diiringi bunyi-bunyian. Kemudian, pengertian
topeng adalah penutup muka yang menyerupai muka orang, binatang, dan
sebagainya.
Dalam “Tari Topeng Malang” dapat
diartikan sebagai gerakan badan yang berirama dengan diiringi bunyi-bunyian
dengan menggunakan penutup muka yang menyerupai muka orang yang berasal dari
Kabupaten Malang.
B. Lokasi
Penelitian Keberadaan Topeng Malang
Gambar
Sanggar Tari Asmoro Bangun di Desa Kedungmonggo, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten
Malang, Provinsi Jawa Timur dengan Beberapa Penari
Kedungmonggo sebagai sebuah dusun di
kaki gunung Kawi merupakan salah satu kantong persebaran seni budaya tari
topeng Malang. Keberadaan kesenian tari topeng di dusun ini sekarang masih
terbilang cukup terkenal jika dibandingkan dengan komunitas lain yang juga
berada di wilayah gunung Kawi dan wilayah kabupaten Malang lainnya, yang
letaknya lebih ke arah atas gunung Kawi. Hal ini didukung oleh letak geografis
kawasan Kedungmonggo yang relatif mudah dijangkau oleh konsumen kesenian tari
topeng karena jaraknya dari jalan raya Malang-Kepanjen hanya berkisar 500 meter
ke arah barat. Tak ayal, kondisi ini membantu mempermudah proses sosialisasi
hasil kesenian khas Malang ini kepada masyarakat umum, khususnya kepada
penduduk Malang Raya.
Kondisi di atas secara eksternal
juga didukung dengan polesan konstruksi budaya Hindu-Jawa di lokasi sekitar
dusun Kedungmonggo mengingat akar sejarah kemunculan tari topeng adalah hasil
ritual kebudayaan Hindu. Dukungan kultural ini bisa dirasakan karena di kawasan
desa Karangpandan, induk dari dusun Kedungmonggo juga masih bisa ditemui
pemeluk agama Hindu meskipun mayoritas penduduk sudah memeluk agama Islam.
Polesan budaya tersebut bisa dilihat dari adanya bangunan pura yang saat ini
jarang ditemui di wilayah Malang, yang berjarak tak lebih dari 300 meter dari
pusat dusun Kedungmonggo. Selain itu di samping pura terdapat pula sekolah
keagamaan hindu yang peserta didiknya adalah masyarakat sekitar Pakisaji.
C. Sejarah
Singkat Tari Topeng di Indonesia
Seni tari topeng merupakan kesenian
khas Indonesia yang sudah ada semenjak zaman nenek moyang. Hampir semua daerah
di Indonesia memiliki sejarah tentang pertunjukan menggunakan topeng. Di Jawa
pertunjukan seni tari topeng telah dikenal semenjak tahun 762 Saka (840 M). Hal
ini dijelaskan dalam prasasti Jaha dan di kala itu topeng dijadikan sebagai
sarana utama ritual pemujaan dan pertunjukan yang dikenal dengan istilah
Atapukan. Istilah lain yang juga sering digunakan yaitu istilah Raket, Manapel
dan Popok. Dari beberapa istilah tersebut semuanya menjurus pada satu arti
yaitu berarti penutup wajah yang pada saat ini juga bisa disamakan dengan arti
kata ”Topeng.”
Dalam literatur lain disebutkan
bahwa keberadaan topeng telah dikenal semenjak zaman kerajaan tertua di Jatim
yaitu kerajaan Gajayana (760 Masehi) yang berlokasi di sekitar kota Malang.
Tepatnya, kesenian ini telah muncul sejak zaman Mpu Sendok. Saat itu, topeng
pertama terbuat dari emas, dikenal dengan istilah Puspo Sariro (bunga
dari hati yang paling dalam) dan merupakan simbol pemujaan Raja Gajayana
terhadap arwah ayahandanya, Dewa Sima .
Berbarengan dengan munculnya
kesenian tari topeng yang telah diceritakan muncul pula kesenian bercerita yang
dilakukan oleh para dukun (Samman) yang isi dari cerita itu merupakan
kisah tentang sejarah perilaku nenek moyang suatu komunitas tertentu. Kesenian
ini dinamakan Ringgit atau Aringgit. Adapun peran pencerita pada zaman sekarang
lebih sering dilakukan oleh dalang. Proses penceritaan kisah tersebut menjadi
sebuah wujud penghormatan bagi nenek moyang yang bersifat animistik dan sarana
pemanggilan ruh. Hidayat menyebutkan :
Tari atau drama topeng dianggap
sebagai sarana untuk pemanggilan roh – roh nenek moyang atau roh-roh baik untuk
masuk merasuk ke dalam tubuh para penari. Sehingga para pelaku tidak lagi
memainkan diri tetapi beralih sebagai wadah (tempat) hadirnya roh nenek moyang.
Mereka datang untuk memberikan perbuatan baik atau menerima penghormatan (puja
bakti).
Fenomena ini merupakan ciri khas
yang dimiliki oleh masyarakat Jawa primitif pra Hindu di wilayah Jawa.
Jika dilihat dari kacamata psikologi
sosial, dari data ini bisa disinyalir bahwa peran seorangsamman (dukun,
dalang) sebagai seorang pencerita memiliki andil yang cukup besar dalam proses
internalisasi pemahaman aspek religius-kultural pada penonton selama
pertunjukan berlangsung
Gambar Kitab
Negarakertagama
Dalam beberapa literatur banyak
diceritakan tentang cara penyajian pertunjukan tari tersebut. Salah satunya
dalam kitab Negarakertagama. Di dalam kitab tersebut diceritakan tentang
kronologi upacara Sraddha yang dilaksanakan oleh prabu Hayam Wuruk untuk
menghormati roh Shri Rajapatni, neneknya. Di dalam upacara tersebut prabu Hayam
Wuruk mengenakan topeng yang dinamakan Sang Hyang Puspasharira dan memperagakan
tarian pemujaan agama yang dianutnya.
Sejalan dengan alur perkembangan
zaman seni tari topeng dikenal tak hanya sebagai sarana pemujaan ruh tetapi
dikenal juga sebagai sebuah bentuk kesenian hiburan masyarakat elit kerajaan
yang bersifat eksklusif dan menjadi simbol ketinggian derajat sosial
(keningratan) yang dimiliki seseorang. Kesenian ini kemudian terus berkembang
pesat saat zaman kerajaan Majapahit.
Keterputusan sejarah tari topeng
terjadi semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit oleh invasi kerajaan Demak ke
Jawa Timur. Peralihan kekuasaan dari kerajaan Hindu-Jawa menjadi kekuasaan
kerajaan Islam membawa perubahan yang cukup signifikan di setiap lini budaya
masyarakat, utamanya semangat keagamaan. Hal ini otomatis mengakibatkan seni
tari topeng yang merupakan buah karya budaya Hindu-Jawa perlahan luntur dan
kemudian hilang karena kerajaan-kerajaan yang menjadi kantong budaya kesenian
ini mengubah haluan kultur-religiusnya menjadi kerajaan yang memeluk agama
Islam. Namun di balik keruntuhan kerajaan dalam fungsinya sebagai pusat
pengembangan hasil kebudayaan, terjadi perubahan fakta sejarah yang menunjukkan
bahwa persebaran kesenian yang ada tak lagi dijalankan di dalam kerajaan,
karena banyak dari keluarga kerajaan yang menyebarkan hasil budaya ini kepada
masyarakat umum yang mana masih memeluk agama Hindu-Jawa di wilayah pelosok
tanah Jawa. Fakta ini bisa ditemukan bahwa kesenian tari topeng banyak
ditemukan di wilayah yang sulit dijangkau oleh kekuasaan pemerintah.
Seiring berjalannya waktu dan
ketertatihan eksistensi budaya tradisional, kesenian ini perlahan-lahan hilang
dan berangsur-angsur tergusur oleh arus budaya modern. Hal ini salah satunya
dikarenakan kurangnya sumber sejarah yang mencatat sepak terjang kesenian ini
secara pasti, sampai pada akhirnya dilakukan pencatatan sejarah oleh Dr. Th.
Pigeaud pada tahun 1930an yang menyebutkan bahwa kesenian ini merupakan salah
satu pertunjukan tradisional populer khas Jawa yang berada di wilayah Malang.
D. Tari
Topeng di Wilayah Malang
Gambar Alun-alun Tugu dan Balai Kota
Malang
Malang adalah salah satu kota di
Propinsi Jawa Timur yang terkenal karena kesejukan udaranya. Kota dan kabupaten
dikelilingi oleh empat buah gunung, yaitu gunung Arjuna di sebelah utara,
Gunung Tengger di sebelah Timur, Gunung Kawi di sebelah Barat, dan Gunung Kelud
di sebelah selatan. Karena dikelilingi oleh beberapa gunung inilah maka kota
Malang mempunyai tingkat kesejukan yang baik.
Sebagai kota yang begitu potensial
sebagai tempat wisata dan budaya Malang memiliki kawasan yang sangat layak huni
dan menjadi daerah yang elit sehingga wajar kiranya jika pada masa penjajahan
Belanda Malang dijadikan kawasan strategis tempat tinggal ekspatriat Belanda di
masanya. Penjelasan sejarah Malang sebagai jajahan Belanda sangat berpengaruh
kelak terhadap proses tumbuh kembang kebudayaan lokal di wilayah Malang,
seperti halnya pelaksanaan acara-acara wisata sejarah Malang yang tidak pernah
meninggalkan kawasan jalan Kawi yang sampai saat ini dihuni oleh anak keturunan
para penjajah Belanda.
Salah satu pusat persebaran seni
tari topeng di tanah Jawa adalah di wilayah Malang, di mana dahulu terdapat
kerajaan yang bernama kerajaan Singosari. Murgiyanto dan Munardi dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa awal mula dikenalnya tari topeng di wilayah Malang
terjadi pada abad ke-13 Masehi, yaitu pada periode pemerintahan raja
Kertanegara . Sejak saat itulah seni tari topeng yang berada di daerah Malang
dinamakan sebagai tari Topeng Malang.
Adapun bukti mengenai keberadaan
tari topeng di masa kerajaan Singosari adalah adanya relief di beberapa candi
peninggalan kerajaan Singosari yang dalam relief tersebut digambarkan suasana
di dalam lokasi kerajaan yang di dalamnya dimainkan tarian bertopeng. Dalam
relief tersebut para penari topeng memakai atribut endhong (sayap
belakang), rapek (hiasan setengah lingkaran di depan celana,
lazim juga disebut pedangan), bara-bara dan irah-irahan (mahkota)
yang bentuknya sama dengan kostum tari topeng di masa sekarang.
Malang sebagai bagian dari kota
sejarah kerajaan Jawa (Singosari) dahulu banyak memiliki komunitas tari topeng
di tiap-tiap daerah. Semasa penjajahan Belanda beberapa komunitas tersebut
muncul kembali setelah sekian lama jejak kesejarahan mereka tidak tercatat oleh
pewarta hasil budaya. Tak kurang dari 11 komunitas dahulu pernah meramaikan
budaya kesenian tradisional Malang. Namun seperti yang telah disebutkan di atas
bahwa perguliran sejarah dari kebudayaan Hindu-Jawa menjadi kebudayaan Islam
menjadi salah satu sebab kemunduran eksistensi kesenian ini di tanah Jawa, tak
terkecuali di wilayah Malang.
Sampai saat ini, di wilayah Malang
Raya komunitas tari topeng hanya bisa ditemui sedikitnya 4 komunitas yang aktif
berkesenian. Itupun berada di wilayah-wilayah pelosok. Namun dari data
wawancara dengan beberapa akademisi yang dikumpulkan ada kesatuan paham yang
menjurus pada kesimpulan bahwasanya daerah tempat komunitas tari ini berada
dahulu merupakan daerah yang banyak dihuni oleh pemeluk agama Hindu-Jawa. Bahkan
sebagian dari daerah tersebut masih didominasi oleh masyarakat Hindu-Jawa yaitu
di wilayah Tengger Ngadas Malang.
Menurut catatan Murgiyanto,
komunitas tari topeng modern yang tertua adalah di wilayah Tumpang. Kemunculan
komunitas ini diawali oleh pengembangan kesenian tari topeng di wilayah
kecamatan Tumpang pada pertengahan abad 19-an oleh Mbah Rusman yang terkenal
dengan nama Kik Tirto. Nama ini merujuk pada nama Tirtowinoto, dan arti kata
“Kik” adalah bapak sehingga nama Kik Tirto berarti bapak dari Tirto . Sekarang
di wilayah Tumpang hanya ditemui paguyuban seni tari Mangun Dharmo pimpinan
Karen Elizabeth di desa Tulus Besar dan Sri Margo Utomo di desa Glagah Dowo
pimpinan Rasimoen.
Versi lain menyebutkan bahwa tari
topeng yang terhitung tua dan masih terkenal di wilayah kabupaten Malang adalah
di dusun Kedungmonggo, tempat penelitian ini berlangsung. Menurut penuturan
Handoyo :
“Tari topeng di wilayah Malang yang
sampai sekarang masih aktif dan eksis ya di sini ini mas (Kedungmonggo).
Komunitas lainnya meskipun masih ada tetapi sudah jarang tampil di depan umum.
Kadang kalau ada pertunjukan dari komunitas lain, sebagian penarinya juga
diambil dari sini.”
Masih menurut Handoyo, sejarah
munculnya tari topeng di Kedungmonggo itu sejak zaman penjajahan Belanda.
Sayangnya ketepatan waktu tahun munculnya belum bisa dipastikan. Namun
menurutnya munculnya di lokasi penelitian adalah waktu kabupaten Malang
dipimpin oleh bupati Malang yang bernama Raden Sjarip bergelar Adipati Suryo
Adiningrat pada tahun 1890an.
Orang yang dulu mengajarkan tari
topeng pertama kali di dusun Kedungmonggo adalah Ki Serun setelah sebelumnya
belajar dari Gurawan, seorang guru tari topeng yang berasal dari gunung Kawi.
Ki Serun memberikan pendidikan tari pada beberapa masyarakat di sekitar dusun
sehingga pada akhirnya muncullah bibit-bibit penari topeng yang mengawali
proses pembentukan komunitas tari topeng di dusun Kedungmonggo.
Setelah Ki Serun lanjut usia
kepemimpinan komunitas tersebut dipegang oleh pak Kiman, yang tak lain adalah
putranya sendiri. Pak Kiman memiliki bakat dan kemampuan untuk menari
dan memahat topeng. Namun kala itu keberadaan tari topeng Malang mengalami
dinamika yang cukup mengenaskan. Beberapa pengikut komunitas ini tidak mampu
mengembangkan tari topeng seperti sebelumnya karena terbelit berbagai masalah.
Di sisi lain, keberadaan tari topeng tidak mampu menunjang kehidupan ekonomi
para anggotanya.
Selanjutnya setelah meninggalnya pak
Kiman sejarah komunitas tari topeng yang tertatih-tatih dalam menjalani roda zaman
dialih-tangankan pada sosok Karimun kecil yang dia adalah anak Kiman, cucu dari
Kik Serun. Karimun memiliki bakat tari dan memahat serta panjak sehingga
di tengah komunitas ini eksistensinya bisa diselamatkan dari persaingan jagat
hiburan kala itu. Sampai pada tahun 1970an dinamika perkembangan tari topeng
Malang mengalami kemunduran yang signifikan. Namun berkat kesabaran dan
kegigihan seorang Karimun pada tahun 1980an tari topeng Malang berangsur-angsur
mulai dikenal masyarakat Malang secara luas dan menjadi ikon kebanggaan kota
Malang berkat kerja sama pemerintah dan masyarakat sekitar Malang dalam
menyosialisasikan tari topeng Malang. Terbukti bahwa lokasi Kedungmonggo sampai
sekarang banyak dikenal oleh masyarakat seantero Malang dan sering dijadikan
rujukan dalam penelitian mengenai seni kebudayaan lokal utamanya seni tari dan
seni pahat.
E. Proses
Pertunjukan
Waktu menunjukkan jam 19.30 WIB.
Dari jarak kurang lebih 200 meter lamat-lamat terdengar suara alunan musik khas
Jawa yang cukup menarik perhatian. Gending Giro, begitu kesenian musik itu
sering disebut. Peneliti berjalan menuju arah musik tersebut dimainkan setelah
bertanya pada orang di sekitar jalan Prajurit Slamet tentang tempat pertunjukan
tari topeng Malang digelar. Setelah semakin jelas terdengar, peneliti sampai di
lokasi penelitian. Kurang lebih 80an orang telah berjubel dalam suatu sanggar
untuk menyaksikan eksotisme tari topeng yang namanya begitu tersohor di
seantero Malang.
Di pusat dusun Kedungmonggo pada
setiap malam Senin Legi terdapat suatu pertunjukan tari topeng Malang yang
dilakukan oleh komunitas seniman tari topeng semenjak awal tahun 1900-an di
masa Ki Serun. Para anggota komunitas tersebut adalah murid dari mbah Karimun,
sesepuh kesenian tari topeng khas Malang yang pernah mendapat penghargaan
langsung dari bekas presiden Soeharto sebagai seniman pelestari kesenian
tradisional.
Di lokasi pertunjukan tepatnya di
sanggar Asmoro Bangun telah datang lebih dari 100 orang. Sanggar yang berukuran
kurang lebih 10 x 15 meter ini dipenuhi oleh penonton yang datang tak hanya
dari lingkungan dusun Kedungmonggo saja, akan tetapi banyak juga yang dari luar
kota. Mereka
datang hanya untuk satu tujuan yaitu untuk melihat pertunjukan Tari Topeng
Malang.
Setting lingkungan
artistik yang bisa dilihat terkesan memiliki nuansa tradisional khas
Hindu-Jawa. Sewaktu pertama kali memasuki kawasan lokasi penelitian nuansa
ke-Hinduan yang ada terasa sangat kental. Adanya 2 patung Totok Kerot atau
Dwarapala sebagai lambang dewa penjaga pintu masuk memperkuat nuansa ini. Tak
jauh dari patung tersebut di dalam sanggar tempat pertunjukan akan
dilangsungkan dan tempat latihan tari topeng, dari arah depan jelas terlihat
ukiran patung Leak yang menjadi ciri khas atribut masyarakat Hindu. Tak hanya
itu, sewaktu berjalan menuju lokasi sanggar di sebagian rumah di desa
Karangpandan banyak ditemui arsitektur rumah penduduk desa yang memiliki gapura
mirip bangunan pura dan memiliki ukiran khas Jawa kuno. Hal ini menjadi salah
satu simbol bahwa seni tari topeng Malang sampai saat ini masih menunjukkan
eksitensinya sebagai sebuah karya hasil budaya Hindu Jawa.
Sepanjang sejarah perkembangan tari
topeng Malang dalam proses penampilannya tetap konsisten dalam menggunakan
bahasa Jawa kuno (Kawi) karena kesenian ini merupakan tradisional yang memiliki
suatu pakem yang harus dilakukan agar tetap bisa menjaga keaslian nilai
pertunjukan.
F. Ruang
Penyajian Tari Topeng
Dalam setting penyajiannya
tari topeng Malang sering kali dilakukan indoor dan
diposisikan dalam panggung. Di Kedungmonggo panggung yang dipakai adalah
sanggar Asmoro Bangun yang memiliki panggung datar di mana posisi penonton
duduk sejajar di depan penari. Antara penari dengan penonton tidak dibatasi
jarak apapun, sehingga antara tempat duduk dengan panggung gerak penari tidak
jelas batasnya dan hanya menurut perkiraan kru (penata ruang) pertunjukan saja.
Kesamaran jarak ini memiliki
pengaruh terhadap kenyamanan penonton dalam menikmati proses pertunjukan di
mana kerapkali sebagian dari kru pementasan atau penonton menegur penonton lain
yang duduk terlalu menjorok ke arah panggung gerak tari. Dampaknya, konsentrasi
penonton yang telah terbangun mulai awal pertunjukan juga terusik dengan
teguran tersebut.
Dari aspek pencahayaan (lighting) terdapat
beberapa lampu sorot yang cahayanya difokuskan untuk jatuh ke arah penari.
Lampu sorot tersebut diletakkan menggantung di atas tempat duduk penonton,
terkadang juga agak maju. Lampu samping sanggar semuanya dimatikan sehingga
cahaya lampu sama sekali tidak mengenai penonton secara langsung. Kalaupun ada
penerangan itupun hanya pantulan dari cahaya lampu sorot yang jatuh di tembok
belakang panggung. Komposisi artistik lampu, yang dipasang biasanya berwarna
kuning cerah dan hanya cukup dibilang terang saja. Hal ini karena komunitas ini
belum memiliki properti yang memadai utamanya jika dibandingkan dengan standar
seni pertunjukan modern.
Pada bagian depan panggung terdapat
kain geber yang dominan berwarna merah berukuran 3 x 10 meter yang menutup
tembok depan dan digantungkan pada tiang di sisi kanan dan kiri panggung.
Kadangkala kain geber yang dipakai hanya berukuran 2 x 3meter saja yang
diikatkan pada tiang penyangga, tepat di tengah panggung. Di bagian tengah kain
geber tersebut terdapat celah yang bisa dibuka dan ditutup yang dijadikan pintu
keluar masuk pemain dari ruang rias di belakang panggung menuju panggung
pertunjukan. Menurut Handoyo, proses keluarnya penari dari pintu kain merah
tersebut diibaratkan sebagai proses kelahiran bayi yang keluar dari rahim
ibunya pertanda dimulainya suatu kehidupan. Hal ini sesuai dengan maksudnya
yaitu dimulainya suatu adegan dalam suatu lakon cerita. Terkadang di sisi kiri
kanan panggung terdapat pula hiasan berupa bunga-bungaan untuk mempercantik
area panggung.
Para panjak dan
sinden yang bertugas mengiringi proses penampilan berada di sisi kiri depan
panggung. Penempatan panjak di samping ini yaitu untuk mempermudah komunikasi
antara penari dengan dalang. Para panjak duduk dengan memegang
alat-alat musik tradisional masing-masing yang dikuasainya. Terdapat gong,
kendang, bonang, dan alat-alat musik tradisional lainnya. Semua dimainkan
sesuai instruksi dalang. Bagi sinden dan panjak masa sekarang
ditekankan untuk bisa menyanyikan berbagai macam lirik lagu utamanya lagu Jawa
modern (campursari). Hal ini salah satunya untuk mengantisipasi permintaan
tokoh Potrojoyo yang permintaannya kadang kala cenderung yang aneh-aneh sesuai
dengan karakter yang dimilikinya. Dan untuk mendukung kejelasan suara ketika
terjadi dialog antar tokoh, iringan gending dan nyanyian sinden digunakan alat
bantu speaker dan sound system.
Setting pertunjukan
yang ada pada akhir-akhir ini sangat berbeda dengan setting pertunjukan
pada era 1980an. Dahulu alat penerangan yang dipakai adalah lampu petromaks
yang digantungkan pada tiang yang terbuat dari bambu dan diletakkan di sisi
kanan kiri panggung. Panggung yang dipakai berupa panggung bertingkat yang
menempatkan penari berada di atas dan para penonton menontonnya dengan posisi
duduk dengan kursi atau berdiri di sisi panggung. Panggung pertunjukan dibangun
di tengah tanah lapang sehingga penonton yang berdiri bisa memutari panggung
pentas. Namun ada juga bentuk pertunjukan yang tetap dipertahankan seperti
seting masa lalu adalah waktu pelaksanaan ritual bersih desa yang pelaksanaan
tari tersebut dilakukan di tanah lapang dekat punden Belik Kurung yang biasa
dijadikan para leluhur penduduk Kedungmonggo meletakkan sesajen. Dahulu juga
belum ada sound system yang mendukung sehingga hal ini sulit
bagi dalang dan sinden untuk menyampaikan dan melantunkan nyanyian pendukung
proses penyampaian isi cerita.
Namun seiring perkembangan jaman,
kesenian ini juga mengalami suatu perubahan yang bisa dikatakan dipengaruhi
oleh kondisi penonton di tiap jamannya . Perubahan tersebut antara lain :
1. Dahulu sebelum tahun 70-an
pertunjukan tari topeng umumnya dilakukan mulai waktu setelah isya sampai pagi
(20.00-04.00 WIB) namun sekarang sering kali dilaksanakan mulai habis isya
sampai tengah malam saja (20.00-23.00 WIB). Berdasarkan keterangan Kasnam, hal
ini untuk mengurangi kebosanan penonton karena pada saat ini penonton cenderung
mencari tontonan yang praktis.
2. Dalam pertunjukan tari topeng
adanya pemotongan beberapa segmen pertunjukan, seperti penggunaan janturan (perulangan
bahasa sinonim) dan ungkapan sastra Jawa kuno yang menunjukkan keindahan bahasa
sastra lisan. Ada juga peringkasan onto wacono dalam setiap
penggambaran profil suatu kerajaan atau tokoh yang sedang ditampilkan. Selain
itu ada juga penambahan segmen pertunjukan di depan penonton, seperti
penampilan ritual sesajen dan pengucapan mantra yang sebelumnya hanya dilakukan
di balik bilik panggung. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan daya tarik baru
bagi penonton
3. Perubahan tingkat agresifitas
atau aspek psikologis lainnya dalam proses pertunjukan. Hal ini dimaksudkan
untuk menyesuaikan unsur artistik penampilan dengan norma yang berlaku saat
itu. Seperti halnya dalam beberapa lakon pada waktu dulu endingnya terjadi
pembunuhan pada tokoh negeri Sabrang (Bolo Kiwo) dan menjadi pihak yang kalah.
Namun akhir-akhir ini penampilan yang menunjukkan penundukan pihak tokoh negeri
Sabrang sering kali dengan pengusiran kembali serangan oleh Golongan
satria/Panji (Bolo tengen).
4. Adanya lakon kreasi modern yang
keluar dari pakem cerita topeng. Perubahan itu menyesuaikan dengan tema yang
yang diangkat sesuai keinginan penghelat acara sebagai tuan rumah.
5. Adanya formalisasi (pakem)
gerakan tari pada tokoh topeng yang dilakukan oleh akademisi kesenian tari.
Menurut penuturan Sunari yang dibenarkan juga oleh Handoyo, dahulu sering kali
terjadi silang (salah) gerakan antar satu tokoh dengan tokoh lain ketika penari
yang tampil memerankan tokoh topeng lebih dari satu karena terlalu banyak tokoh
yang dimainkan dan sedikit jumlah penari. Formalisasi gerakan ini cukup
membantu penonton dan penari dalam mengidentifikasi tokoh yang sedang
ditarikan.
G.
Segmentasi Pertunjukan Tari Topeng Malang
Gambar
Pertunjukkan Tari Topeng Malang yang Diperankan Satu Orang Penari dengan
Beberapa Penonton
1. Gending Giro
Nggiro adalah
musik pengiring pementasan yang dimainkan dengan perangkat musik khas Jawa.
Biasanya permainan musik ini juga disebut dengan instrumen musik karawitan atau gendingan.
Adapun para pemain musik ini lazim disebut panjak atau pengrawit.
Waktu permainan musik ini dimulai dari awal pertunjukan akan dimulai sampai
pertunjukan tersebut selesai.
Adapun tujuan dimainkannya di awal
waktu pertunjukan adalah untuk mencuri perhatian para calon penonton khususnya
penduduk di sekitar wilayah Kedungmonggo sehingga para penonton akan mau datang
menyaksikan pertunjukan tari topeng yang akan dipentaskan pada malam itu.
Harmoni musik yang dimainkan pada awal pertunjukan adalah irama pelog Angleng
yang bernuansa kalem dan santai.
Setelah beberapa lama dimainkan dan
orang yang telah hadir di sanggar pertunjukan dirasa cukup, maka alunan musik
yang awalnya hanya instrumen selanjutnya diiringi oleh penyanyi perempuan yang
kerap disebut dengan istilah Sinden. Bahasa yang digunakan dalam nyanyiannya
tersebut adalah bahasa Jawa Kawi yang menceritakan sinopsis dari lakon cerita
yang akan dimainkan.
Instrumen Giro pun akan senantiasa
dimainkan selama proses pertunjukan dilaksanakan selain pada waktu terjadi
dialog antar pemain yang dibawakan oleh dalang. Hal ini ditujukan untuk
mendramatisir suasana adegan yang tengah dimainkan, seperti pada saat
peperangan dan proses pengembaraan tokoh Panji dan Grebeg Sabrang, maka yang
dimainkan adalah pelog alas kobongatau kembang kacang yang
bernuansa keras. Berbeda dengan irama gending yang dimainkan untuk mengiringi
adegan yang romantis, seperti pada adegan pertemuan dewi Ragil Kuning dengan
Raden Gunungsari, maka yang dimainkan adalah pelog pisang wono. yang bernuansa
sangat kalem. Fenomena ini sama halnya dengan berbagai macam seni pertunjukan
lainnya yang juga menggunakan instrumen musik, baik tradisional maupun modern.
Namun adakalanya juga musik yang dimainkan adalah musik Jawa modern
(campursari) menyesuaikan dengan permintaan tokoh Potrojoyo, satu-satunya tokoh
yang bisa berkomunikasi langsung dengan penonton dan Panjak.
Iring-iringan musik ini akan senantiasa dimainkan sampai pertunjukan tersebut
selesai.
2. Salam pembuka dan sinopsis.
Segmentasi selanjutnya adalah
pembukaan. Sebelum pertunjukan dimulai, salah seorang dari kru pementasan
(biasanya panjak) menghaturkan ucapan salam dan selamat datang
kepada para penonton. Pada penyambutan ini sang penyambut juga memberikan
sedikit ringkasan lakon (sinopsis) pada para penonton sehingga mempermudah
pemahaman isi cerita yang akan dimainkan. Setelah ringkasan tersebut
disampaikan maka selanjutnya diteruskan dengan sesajen.
3. Pembacaan Mantra
Tak lama setelah pembacaan sinopsis,
dari arah dalam sanggar para penari anak wayang yang dipimpin oleh sang dalang
keluar dengan membawa sesajen persembahan. Para pemain tersebut duduk di depan
penonton dan mengheningkan cipta sambil mengucapkan mantra yang diyakini untuk
menjaga keselamatan penari dan penonton yang hadir. Mantra yang dipanjatkan
kepada danyang Kedungmonggo adalah sebagai berikut:
Nini
danyang, kaki danyang, danyang sing mbaurekso dusun Kedungmonggo. Tak jaluk
gawe siro dino pitu pasaran limo dino senin legi iki siro tak upah-upahi sajen.
Opo isine sajen gedang ayu, suruh ayu, pencok bakal badhek sak tetes sego pucet
lawuhe iwak endog. Tak tumpangne sungging sedono. Ono kurangane tukuo dewe. Iku
ono duwike. Siro gondo, siro roso, siro daharo. Aku njaluk rahayu slamet sak
anggotaku wayang topeng kene kabeh.
(Wahai kakek nenekku, roh penunggu
yang melindungi dusun Kedungmonggo, pada hari ke tujuh pasaran lima , yaitu
hari Senin Legi ini aku memberi sajian padamu sekalian yang berupa satu sisir
pisang, daun sirih (yang segar), bumbu dapur, setetes air badhek (sari
tape ketan), nasi bucet(tumpeng kecil) dengan lauk telur. Semuanya
saya letakkan di atas macam-macam bunga. Kalau sesajennya kurang maka silakan
beli sendiri. Di situ sudah ada uangnya. Silakan dirasakan, dibaui dan dimakan.
Saya dan anggota saya yaitu orang-orang yang hadir di pertunjukan topeng di
sini minta perlindungan kepadamu agar bisa selamat dan sejahtera.
Setelah membaca mantra tersebut,
Sang dalang yang mulutnya senantiasa komat-kamit memanjatkan mantra meminta
topeng dari para penari untuk diasapi kemenyan. Topeng-topeng tersebut yang
nantinya akan dipakai oleh para penari untuk mementaskan lakon yang diangkat
dalam pertunjukan.
Pembacaan mantra dalam susunan
pertunjukan berfungsi pula untuk menunjukkan pada penonton bahwa kesenian yang
akan ditampilkan bukan hanya sekedar tontonan hiburan semata, akan tetapi juga
sebuah wujud penghormatan roh penunggu desa. Hal ini bisa dilihat dari sebutan
“Nini danyang, kaki danyang”
4. Prosesi pertunjukan tari
Sampailah pada proses pertunjukan
yang terpenting. Pada segmentasi ini, tari dimainkan sesuai dengan lakonnya.
Pada acara rutin senin legian tema yang dimainkan tidak ditentukan karena
pertunjukan ini dilakukan hanya sebagai rutinan saja dan semata-mata untuk
menjaga kelestarian kesenian. Namun pada beberapa acara tertentu, pertunjukan
tari yang ditampilkan disesuaikan dengan permintaan penghelat acara.
Pada tiap-tiap adegannya,
pertunjukan ini dibagi secara runtut yang menjadi pakem pertunjukan. Pendapat
ini merupakan hasil penelitian Murgiyanto mengenai segmentasi yang ada dalam
proses pertunjukan. Susunan tersebut adalah sebagai berikut :
i. Jejer sepisan : adegan kerajaan
Jawa / Panji. Pada adegan ini sebelum para penari berdialog, dalang mengucapkan
janturan yang menggambarkan sifat keadilan raja yang memimpin negaranya dengan
makmur dan adil. (gending Angleng atau kalem)
ii. Grebeg Jawa : pengembaraan Panji
(gending Angleng atau kalem)
iii. Jejer kapindo : adegan di
kerajaan Sabrang (gending setro atau agak keras)
iv. Grebeg Sabrang : adegan
pengelanaan raja Klono bersama para patih untuk mencari putri yang akan
dinikahi atau menaklukkan kerajaan lain. (gending gondo boyo atau keras)
v. Perang grebeg : Pertemuan antar
Panji dengan kerajaan Sabrang (gending gondo boyo atau keras)
vi. Jejer katelu : adegan pertapaan
/ kerajaan lain. (gending Angleng atau kalem)
vii. Potrojoyo-Gunung sari (gending
pedhat atau biasa)
viii. Adegan ulangan kerajaan
pertama
ix. Jejer kalima : perang besar
antar kedua kerajaan (gending gondo boyo atau keras)
5. Penutupan
Setelah pertunjukan selesai, sang
dalang menutup kegiatan Senin legian tersebut kemudian anak
wayang beserta panjak memakan sesajennya. Hal ini sangat berbeda dengan waktu
dulu di mana setelah pertunjukan selesai sesajen dibawa ke punden Belik Kurung
.
Pada pertunjukan tari topeng Malang
rata-rata penonton yang datang memberikan perhatian yang lebih pada sri
panggung . Dahulu pada tahun 1970an, banyak digelar pertunjukan tari topeng
pada berbagai perhelatan umum di pendopo kabupaten. Para
penonton sering kali mempertanyakan tentang siapa penari yang didapuk sebagai
pemainnya. Jika penarinya adalah tokoh idolanya maka para penonton akan
menghadiri pementasan itu. Jikalau tidak ada penari idola dalam lakon tersebut
maka penonton banyak yang tidak datang. Bahkan tak jarang para penonton datang
hanya untuk melihat sri panggung yang dikaguminya. Dan setelah sri panggung
tersebut turun panggung maka para penonton meninggalkan area pementasan.
Ketertarikan penonton terhadap sri panggung dikarenakan penari tersebut dapat
memvisualisasikan karakter yang diperankan, ekspresi gerak cukup mumpuni dan
murni (tidak bercampur dengan ciri khas tokoh lain). Selain itu fisik yang
dimilikinya cocok dengan karakter yang dimainkan.
H. Visualisasi Figur Fiktif dalam
Pertunjukan
Gambar
Topeng Panji Asmarabangun
Dalam setiap penampilannya
pertunjukan tari Topeng Malang menceritakan tentang petualangan figur Panji.
Dalam kesusastraan Jawa kuno Panji merupakan figur tokoh topeng yang cukup
terkenal. Mengenai sejarah tokoh Panji dan saudara-saudaranya belum ada yang berani
memastikan mulai kapan tokoh ini diperkenalkan karena minimnya dokumentasi
sejarah yang menunjukkan angka tahun kemunculan cerita. Namun demikian, menurut
Purbatjaraka tokoh ini muncul di saat kekuasaan kerajaan Majapahit. Hal ini
dibuktikan dengan banyak ditemukannya cerita rakyat yang memfigurkan ketokohan
Panji di setiap daerah yang dahulu merupakan lingkar wilayah Nusantara. Tak
hanya di sekitar Indonesia saja tokoh ini dikenal, namun tokoh ini-pun bisa
ditemukan di negara Kamboja.
Dari setting penaskahan yang ada
Panji diceritakan sebagai putra mahkota dari kerajaan Doho, salah satu dari
empat kerajaan besar di tanah Jawa yaitu Kahuripan, Singosari, Urawan, dan Doho
sendiri. Keempat kerajaan tersebut bersaudara. Menurut penuturan Sunari, naskah
yang diceritakan dalam penampilan tari topeng memiliki unsur pesan yang jika
diruntut dari sejarahnya adalah untuk mempersatukan keempat kerajaan tersebut
yang mengalami perang saudara di jamannya.
Mengenai alur cerita yang dibawakan
Purbatjaraka menyebutkan bahwa naskah Panji merupakan adaptasi dari cerita
wayang Purwa sebagai induk penaskahan dari berbagai seni wayang yang ada di
Indonesia (Mahabarata dan Ramayana). Asumsi ini muncul karena adanya kesamaan
alur cerita antara keberadaan pihak Kiwo-tengen, pensifatan tokoh dan
lain-lain. Hal ini diperkuat dengan data peneliti berdasarkan hasil wawancara
dengan Sunari dan Kasnam yang membenarkan asumsi tersebut. Namun sampai
sekarang belum ada peneliti yang berani memastikan proses pengadaptasian
tersebut karena penaskahan cerita secara tertulis dalam pertunjukan tari Topeng
Malang belum ditemukan dan adanya berbagai macam versi cerita meskipun dalam
lakon yang sama. Ambiguitas keabsahan naskah cerita dikarenakan kesenian ini
merupakan salah satu bentuk sastra lisan. Metode penyampaian ceritanyapun
dengan berbagai media mulia dari tari, wayang wong, wayang gedog dan lainnya.
Sebagaimana karya seni peran
lainnya, dalam kesenian ini terdapat beberapa tokoh yang mewakili karakter baik
dan karakter jahat, serta sebagai penengah. Karakterisasi ini merupakan suatu
keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri dalam tiap-tiap jenis karya seni peran.
Pandangan seperti ini menurut Anderson, merupakan stereotype yang
bisa ditemui di kehidupan budaya Jawa. Ada semacam dikotomi nyata yang tidak
bisa dipisahkan dan menjadi oposisi biner di dalam keyakinan orang Jawa yang
itu merupakan satu kesatuan . Tua-muda, Baik-Buruk, Bolo Tengen-Bolo Kiwo yang dalam karya
dramatis personae (meminjam istilah Anderson) ini, nuansa
tersebut sangat kental terasa.
Adapun penggolongan peran dalam
pertunjukan tari topeng adalah sebagai berikut :
i. Ragam Ksatria Jawa (Bolo Tengen)
: yaitu para raja pangeran dan pengawal dari kerajaan Jawa (Doho, Singosari,
Jenggala Manik atau Kahuripan, Urawan), seperti Panji Asmoro Bangun, Gunung
Sari, Panji Walang Sumirang, Panji Laras dan lainnya.
ii. Ragam Raksasa atau Klono (Bolo
Kiwo) : Yaitu para pasukan yang berasal dari kerajaan Sabrang, kerajaan luar
Jawa. Kerajaan ini dipimpin oleh Klono Sewandono yang selalu berusaha
menaklukkan kerajaan lain.
iii. Ragam Dewa, Begawan atau
Pertapa. Yaitu para dewa yang mengatur kehidupan manusia di kayangan dan raja
yang meninggalkan kehidupan duniawi. Seperti : Begawan Wirosekti, Betara Kala
iv. Ragam penari putri : yaitu putri
yang hidup di kerajaan Jawa yang kemudian berjodoh dengan para Panji. Seperti
Galuh Candra Kirana, Walang Wati, Sekartaji, Ragil Kuning.
v. Punakawan : dari segi bahasa,
Puna berarti orang bijak, dan Kawan berarti teman. Di dalam pementasan, adalah
para orang bijak yang mendampingi dan menemani para ksatria dan raksasa Sabrang
. Para punakawan tersebut bertugas mengabdikan diri kepada para ksatria yang
berwatak pejuang dan mereka selalu menjadi tempat gudang nasihat ketika para
ksatria mengalami kesulitan hidup. Punokawan yang ada dalam pementasan tari
topeng Malangan adalah Jerodheh (Semar) dan Prasanta (Bagong). Yang lain adalah
Potrojoyo (sebagai punokawan Gunungsari), Demang Mones (pengikut para raja
Klono yang nasihatnya selalu diabaikan) dan Emban Biyung Dawala (punokawan Dewi
Sekartaji)
Hasil observasi yang didapat dari
penelitian di lapangan menunjukkan bahwa dalam pertunjukan tari topeng terdapat
140an tokoh, namun dalam tiap-tiap momen pertunjukan yang dijadikan tokoh utama
hanya 6 saja. Nama dan karakter tokoh utama yang dimaksud tersebut dijelaskan
sebagai berikut:
1. Klono (Sewandono) :
golongan raksasa sombong, adigang-adigung , pethakilan ,
suka berkelahi, agresif, lugas, keras, pemimpin yang tegas. Dalam wayang
kulit tokoh ini dianalogikan sebagai Rahwana. Memakai atribut endhong
2. Bapang :
sombong, licik, ahli strategi, hipokrit (munafik). Tokoh ini dianalogikan sebagai
Dursosono (Kurawa). Memakai atribut endhong
3. Gunung Sari : Golongan Satria,
bersifat rendah hati (andhap). Berpengetahuan luas. Lemah lembut, Agak feminin,
suka berdandan dan berkelana. Memakai atribut pedangan. Tokoh ini disamakan
dengan figur Samba, putra Batara Kresna.
4. Panji (Asmoro Bangun) : Golongan
satria. Mata keranjang, suka bertapa, pengabdian ke orang tua besar, digdaya,
diam-diam menghanyutkan. Memakai atribut pedangan. Tokoh ini
memiliki karakter khas Arjuna dalam cerita wayang purwa.
5. Sekar Taji : Seorang putri
kerajaan Kediri. Lemah lembut, rendah hati, feminin, bersikap pasrah.
Penggambarannya mirip dengan tokoh Sumbadra.
6. Ragil kuning :
Seorang putri. Adik dari Panji. Peran ini digambarkan sebagai sosok pemberani,
tegas, dan suka berkata apa adanya. Dalam wayang kulit tokoh ini bisa disamakan
dengan tokoh Srikandi.
Jumlah 6 tersebut, difalsafahkan
oleh Karimun sebagai nemen diopeni, nemen diudi nemen dilestarekno.
Namun menurut Sunari, tokoh utama dalam seni tari topeng berjumlah 7 yang dari
6 tokoh tersebut ditambahi dengan satu tokoh yaitu Potrojoyo. Dia adalah demang (pembantu) dari
Gunung Sari yang juga menjadi penjaganya. Tokoh ini digambarkan sebagai tokoh
lucu dan cuek. Kadang dalam kelucuannya sering keceplosan dan terlihat sisi
sifat bijak yang dimilikinya. Filosofi dari jumlah tujuh adalah merujuk pada
tujuh lubang di wajah topeng (2 lubang hidung, 2 lubang telinga, 2 lubang mata
dan 1 lubang mulut) yang berarti menahan kejelekan hidup yang disebabkan oleh
tujuh lubang tersebut.
I. Topeng
Malang dan Aspek Belajar di Dalamnya
1. Penjabaran Hasil Observasi
Sebagai sebuah pertunjukan kesenian
bagi masyarakat Tari Topeng Malang memiliki banyak aspek yang bisa dipelajari
darinya seperti layaknya seni pertunjukan lainnya. Keberadaan kesenian tari
topeng di wilayah Kedungmonggo memungkinkan terjadinya proses pembelajaran
penduduk terhadap apa yang ada di dalam tari topeng. Hal ini bisa dilihat
contohnya dari beberapa fakta yang didapat dari lapangan yang bisa memperkuat
pendapat ini yaitu :
Pada observasi yang dilakukan pada
saat pertunjukan berlangsung ditemukan salah seorang anak laki-laki berusia
12an tahun yang menari-nari dengan teman-temannya di dalam sanggar mengikuti
alunan musik gending sembari menunggu pertunjukan dimulai. Ketika ditanya
tentang tari apa yang dimainkan subyek menjawab bahwa dia meniru tari Bapang
yang biasa dia lihat ditarikan oleh kakaknya yang menjadi anggota penari di
sanggar Asmoro Bangun ketika latihan.
Masih di waktu yang sama didapati
salah satu penonton yang tengah asyik mengangguk-anggukkan kepala menikmati
alunan musik gending giro dalam tari topeng. Hal ini menunjukkan adanya peran
fungsi indera pendengaran yang menangkap stimulus dari luar diri subyek dan
berpengaruh pada perilaku mengangguk-angguk tersebut.
Pada penelitian yang dilakukan pada
tanggal 19 Mei 2009 ditemukan aktivitas seorang nenek yang duduk di area
sanggar melihat pertunjukan yang tengah berlangsung dengan memangku cucunya.
Sesekali nenek tersebut membisiki cucunya tentang bentuk perilaku tokoh topeng
yang tengah berlangsung di panggung. Ketika ditanyai tentang nasihat yang telah
diberitahukan pada cucunya sang nenek mengaku bahwa dia ingin agar cucunya bisa
menirukan perilaku tokoh Panji Asmoro Bangun, dan jangan sampai menirukan
perilaku tokoh bapang karena menurutnya tokoh bapang tergolong tokoh yang
berperilaku buruk.
Dalam beberapa kasus observasi, pada
segmen dialog Potrojoyo-Gunungsari peneliti kerapkali mendapatkan fenomena
subyek yang tertawa terbahak-bahak melihat kelucuan Potrojoyo. Pada adegan
grebeg Sabrang ditemukan ekspresi rasa takut dari penonton dan menyebabkan
penonton tersebut berteriak, utamanya bagi penonton berusia kira-kira di bawah
15 tahun, yang terjadi karena gerak para pemeran tokoh kerajaan Sabrang yang
kerap kali bergerak secara tiba-tiba ke arah penonton sampai batas panggung.
Hal ini didukung pula dengan kostum yang dipakai tokoh Sabrang yang menurut
beberapa subyek menyeramkan.
Dari data yang dihimpun terdapat
pula pemberian nama jalan yang diambil dari istilah nama tokoh dalam tari
topeng. Seperti pada nama gang sepanjang jalan masuk dari jalan raya desa
Karangpandan menuju dusun Kedungmonggo, berjajar nama gang yang sama dengan
nama-nama Panji (pangeran) kerajaan Doho. Salah satunya adalah jalan
Asmorodono, jalan Asmorobangun dan jalan Asmorodadi. Dari keterangan Dahlan
yang menjabat sebagai kamituwo, penamaan ini memang diambil dari
nama tokoh-tokoh Panji.
Pada pelabelan nama anggota keluarga
dari penduduk di sekitar wilayah Kedungmonggo ditemukan polesan kesadaran
penonton yang juga terpatri dengan pemberian embel-embel nama tokoh tari
topeng. Misalkan nama Galuh Ajeng yang kata “Galuh” tersebut disinyalir diambil
dari nama Galuh Candrakirana, Inu yang diambil dari nama Inu Kertopati dan
Panji yang diambil dari nama Panji Asmoro Bangun. Selain dari penduduk sekitar,
Sunari, seorang pengamat tari topeng Malang menerangkan bahwasanya nama putra
dan putrinya diberi embel-embel nama Panji dan Galuh.
Di setiap judul yang ditampilkan
dalam pertunjukan ditemukan tema yang memiliki unsur penyatuan antar dua
kerajaan yang tengah mengalami konflik perang saudara. Hal ini menunjukkan
adanya semangat pemersatu dalam judul yang tengah dilakonkan. Di lain sisi
terdapat pula tema tentang konflik dua kerajaan yang ingin menguasai (perilaku
dominan) dan kerajaan yang mempertahankan diri (perilaku defensif) dari
serangan kerajaan lain.
Dalam setiap lakon terdapat suatu
pesan tidak tertulis yang menyatakan bahwa nilai keburukan nantinya pastinya
kalah dengan nilai kebaikan. Salah satu contohnya adalah tentang penggambaran
perang yang selalu dimenangkan oleh golongan satria ketika melawan prajurit
Sabrang.
Visualisasi wajah pada topeng yang
ditampilkan menunjukkan nilai keumuman yang memilah sisi positif-negatif suatu
karakter. Misalnya pada tokoh negeri Sabrang yang dominan digambarkan memiliki
wajah merah, memiliki taring, mata melotot, beralis dan berkumis tebal, janggut brewok.
Tokoh negeri Sabrang selalu diposisikan sebagai pemeran sifat antagonis dalam
lakon. Berbeda dengan tokoh kerajaan Jawa. Panji dan para pendampingnya
digambarkan dengan wajah yang berwarna cerah (putih dan kuning), dan warna
hijau. Mata sempit, kumis berbentuk kucing anjlok (tipis-klimis), jenggot
berbentuk udan gerimis (tipis).
Selain dari warna wajah, terdapat
pula tanda yang membedakan antara tokoh yang memiliki kedudukan tinggi dan
tokoh pembantu. Pada tokoh yang memiliki kedudukan tinggi digambarkan dengan
adanya kembangan (ukiran bunga) setiap sisi wajah. Pada tokoh pembantu
visualisasi yang ditunjukkan adalah tanpa menggunakan ukiran kembangan.
Pada visualisasi kostum yang dikenakan
di atas panggung terdapat perbedaan antara tokoh Panji yang memakai irah-irahan dengan
pembantunya demang Potrojoyo yang tidak mengenakan tutup kepala. Pembedaan
atribut kostum yang lain adalah tingginya irah-irahan yang
dipakai Panji dan hiasan di atasnya yang berbeda dengan irah-irahan yang
dipakai oleh para patih.
Tata laku / gerak tokoh dari
kerajaan Sabrang bisa dibedakan dengan golongan kerajaan Jawa (ksatria) dan
tokoh putri. Jika tokoh kerajaan Sabrang banyak tingkah, gerakan kaku, bersuara
keras dan tergesa-gesa. Berbeda dengan tokoh ksatria yang selalu bertindak
tenang, suara halus (bahkan ada yang feminin), gerakan halus. Hal ini juga
berbeda dengan tokoh putri yang cenderung sangat halus, feminin, tutur kata
sangat pelan. Visualisasi gerak di atas bisa menjadi pembeda antar satu
karakter dengan yang lain.
NB: Neh informasi ane ambil dari topengmalangofmalang.blogspot.com