Friday, May 31, 2013

APLIKASI EPIDEMIOLOGI

TUGAS KELOMPOK
MATA KULIAH EPIDEMIOLOGI

“APLIKASI EPIDEMIOLOGI”




Nama Kelompok :

1.      Arian Handoko
2.      Bagus Hartanto
3.      Doni Ardiyanto
4.      Dwi Enggar Widi Saptana
5.      Harjanti
6.      Herdiana widyastuti


YAYASAN PENDIDIKAN HAKLI SEMARANG
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
STIKES “HAKLI” SEMARANG
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
SEMARANG

APLIKASI EPIDEMIOLOGI

I.          PENDAHULUAN
Modul ini adalah kelanjutan dari dan merupakan rangkaian kesatuan dengan modul Konsep Dasar Epidemiologi sebelumnya. Setelah menamatkan modul ini peserta diharapkan akan dapat memahami dan membimbing stafnya untuk:
a.       Memahami prinsip- prinsip epidemiologi
b.      Memahami prinsip- prinsip demografi
c.       Mengkaji mutu data epidemiologi yang ada
d.      Menggunakan pendekatan epidemiologi dalam perencanaan program- program kesehatan

II.       PRINSIP- PRINSIP EPIDEMIOLOGI
Salah satu definisi dari epidemiologi adalah “ilmu yang mempelajari frekuensi, distribusi dan factor- factor penentu (determinants) dari penyakit atau masalah kesehatan pada populasi manusia”.
Tujuan dari epidemiologi adalah untuk memperoleh, menafsirkan dan menggunakan informasi kesehatan untuk mengurangi penyakit dan meningkatkan kesehatan.
Prinsip- prinsip dasar epidemiologi adalah sangat praktis dan relevan, bukan saja untuk pengelola program di tingkat dati II, melainkan juga untuk seluruh petugas kesehatan, bahkan untuk setiap orang yang terlibat dalam segala macam pelayanan kepada masyarakat.

a.      Tahap- tahap pendekatan epidemiologi
1)      Epidemiologi deskriptif
Tahap ini mempertanyakan:
a)      Apakah yang menjadi masalah?
b)      Berapakah besar masalahnya?
c)      Siapakah yang terkena, dimana dan bilamana
Jadi, menurut definisi diatas tahap ini berhubungan dengan frekuensi dan distribusi atau masalah kesehatan.

2)      Epidemiologi analitik
Tahap ini menganalisa sebab- sebab, atau factor- factor penentu (determinants) dengan cara menguji hipotesis- hipotesis untuk menjawab pertanyaan seperti:
a)      Apa yang menyebabkan terjadinya penyakit itu?
b)      Mengapa kejadian itu masih terus berlangsung?
3)      Epidemiologi intervensi / eksperimental
Disini dilakukan ujicoba klinik atau masyarakat untuk menentukan keefektifan cara- cara baru untuk menanggulangi penyakit atau untuk memperbaiki keadaan- keadaan yang mendasarinya.
4)      Epidemiologi evaluative
Tahap ini mencoba mengukur keberhasilan berbagai pelayanan dan program kesehatan, dan mencoba menjawab pertanyaan penting: jadi bagaimana, apakah ada peningkatan kesehatan?

Tahap analitik dan eksperimental mungkin tidak akan digunakan di tingkat Dati II oleh karena itu dibutuhkan metoda penelitian yang rumit, seperti penelitian kasus- control, kohort atau uji coba klinik.
Namun epidemiologi deskriptif dan epidemiologi evaluative sangat bermanfaat dan seharusnya pendekatan ini digunakan secara luas di tingkat Dati II.

b.      Epidemiologi dan Informasi
Epidemiologi berkaitan erat dengan informasi. Informasi ini dibutuhkan dalam perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program- program kesehatan. Jenis- jenis data yang dibutuhkan untuk menyediakan informasi tersebut dapat difikirkan dengan menjawab serangkaian pertanyaan berikut:

APA
Yang menjadi masalah kesehatan?
SIAPA
Yang terkena: distribusinya menurut umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan dsb?
DIMANA
Masalah itu terjadi: menurut tempat tinggal, tempat kerja dsb?
KAPAN
Masalah itu terjadi: menurut hari, bulan, musim dsb?
BAGAIMANA
Masalah itu terjadi: keadaan khusus, vector, sumber penularan, kelompok rentan, factor- factor penentu lain?
MENGAPA
Masalah itu terjadi: mengapa masih berlanjut terus
LALU, APA
Tindakan intervensi yang telah dilakukan berdasarkan informasi yang ada, dan bagaimana keberhasilannya?
Apakah telah terdapat peningkatan kesehatan?

c.       Populasi yang terancam dan cakupan
Berbeda dengan disiplin ilmu kesehatan klinik yang mempelajari masalah kesehatan pada seorang individu, seorang petugas kesehatan masyarakat yang menggunakan pendekatan epidemiologi perlu mendasarkan pekerjaanya pada seluruh populasi (disini; populasi Dati II) dan pada kelompok- kelompok penduduk khusus, bukan hanya terhadap mereka yang datang ke sarana pelayanan kesehatan saja. Konsep yang sangat penting dalam epidemiologi ini disebut populasi yang terancam (population at risk) atau populasi penyebut (denominator population). Ini adalah keseluruhan penduduk di wilayah yang bersangkutan yang mungkin mengalami penyakit yang bersangkutan.
Sebagai contoh: kita tidak hanya perlu tahu berapa jumlah anak yang diimunisasi, berapa jumlah penderita kusta yang datang berobat, atau berapa jumlah rumah yang telah disemprot, melainkan juga berapa jumlah seluruh anak yang harus diimunisasi, jumlah seluruh penderita kusta yang diperkirakan ada, dan jumlah seluruh rumah yang seharusnya disemprot.
Perbandingan antara jumlah yang telah menerima pelayanan dan jumlah seluruhnya yang seharusnya dilayani disebut cakupan. Cakupan merupakan salah satu petunjuk mengenai tingkat keberhasilan program.

d.      Ukuran frekuensi
Dua jenis ukuran frekuensi penyakit yang paling sering digunakan adalah insidens dan prevalens. Perbedaan antara kedua ini perlu diketahui dengan jelas.
1)      Insidens
Mengukur terjadinya kasus baru selama suatu jangka waktu tertentu, biasanya setahun. Ukuran ini merupakan petunjuk yang terbaik mengenai kecenderungan dari suatu masalah kesehatan, apakah masalah itu meningkat, menurun atau tetap sama. Oleh karena itu merupakan juga ukuran yang terbaik mengenai keberhasilan suatu program kesehatan. Ukuran ini digunakan dalam system surveilans dan untuk menganalisis pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan.
Contoh: jumlah kelahiran dan kematian selama setahun, jumlah kasus tetanus neonatrum yang ditemukan selama setahun, jumlah kunjungan pertama ibu hamil ke klinik KIA selama sebulan, jumlah kasus baru tuberculosis baru yang berobat selama setahun dan sebagainya.
2)      Prevalens
Mengukur jumlah kasus yang aktif/ ada pada suatu titik waktu tertentu, biasanya pada suatu hari tertentu. Mungkin lebih sulit untuk menafsirkan prevalens daripada insidens oleh karena prevalens merupakan paduan antara insidens dan rata- rata lamanya suatu penyakit berlangsung (duration).
Contoh: jumlah penderita tuberculosis baru yang terdaftar pada awal  bulan, atau jumlah tempat tidur rumah sakit yang terisi setiap hari.

Prevalens sangat berguna untuk mengukur penyakit yang bersifat kronis, sedangkan insidens berguna untuk penyakit yang berlangsung relative singkat, seperti (campak, diare, pneumonia). Survey cross-sectional biasanya berguna untuk mengukur prevalens penyakit kronis seperti kusta atau tuberculosis paru.

Dalam keadaan yang stabil, insidens dan prevalens berhubungan menurut rumus
 




Maka untuk penyakit kronis, insidennya per tahun akan jauh lebih rendah daripada prevalensnya. Contoh: angka prevalens tuberculosis paru biasanya berkisar antara 0.5% - 10% (atau 5 – 10 kasus per 1000 penduduk), dan rata- rata lama penyakit yang tidak diobati adalah 4 – 5 tahun. Ini berarti angka insidens kasus baru tuberculosis paru adalah antara 0.1 – 0.2 % (atau 1 -2 kasus per 1000 penduduk). Di daerah yang mempunyai system penemuan dan pelaporan kasus tuberculosis paru yang baik, angka insidens dapat digunakan. Tetapi di daerah yang sistemnya tidak dapat memberikan data yang dapat dipercaya, mungkin perlu dilakukan survey-sectional untuk memperoleh angka prevalens.

e.       Angka mutlak dan rate
Insidens dan prevalens dapat disajikan sebagai angka mutlak atau dihitung sebagai rate angka insidens atau angka prevalens. Data yang tersedia biasanya merupakan angka mutlak, dan ini biasanya yang dilaporkan dalam laporan rutin, dimana populasi yang terancam dapat dianggap stabil menurut tempat dan waktu yang terbatas.
Bila kita ingin melihat kecenderungan dalam waktu, atau membandingkan frekuensi penyakit pada beberapa kelompok penduduk, atau beberapa daerah maka penggunaan angka mutlak dapat menyesatkan. Besar populasi dan distribusi umur pada kelompok- kelompok yang hendak dibandingkan perlu diperhitungkan.
Untuk itu insidens atau prevalens penyakit perlu ditanyakan sebagai rate (angka insidens atau angka prevalens). Angka insidens atau angka prevalens sebagai pembilang (numerator) dengan jumlah penduduk terancam sebagai penyebut (denominator).
Penduduk yang terancam ini mungkin adalah seluruh penduduk diwilayah kabupaten, atau penduduk diwilayah tertentu saja yang lebih kecil, atau penduduk pada golongan umur tertentu saja dsb.
Contoh:
1)      Di kabupaten A yang berpenduduk berjumlah 200.000 orang, dilaporkan sebanyak 40 kasus baru tuberculosis paru selama tahun 1989. Maka angka insidens tuberculosis paru di kabupaten tersebut dalam tahun 1989 adalah:
Insidens rate = 40 / 200.000
                     = 0.2 kasus per 1000 penduduk per tahun.
2)      Di kabupaten tersebut pada akhir tahun 1989 tercata sebanyak 250 orang penderita tuberculosis paru yang berobat. Maka angka prevalens tuberculosis paru pada akhir tahun 1989 adalah:
Prevalens rate = 250 / 200.000
                        = 0.2 kasus per 1000 penduduk.


f.       Episode, orang atau kunjungan
Adalah sangat penting untuk membedakan apakah yang dihitung itu orang, episode atau kunjungan. Untuk penyakit seperti ISPA dan diare, seseorang dapat mengalami lebih dari satu kali episode (kejadian) dalam setahun. Untuk setiap kejadian ia dapat dating berobat lebih dari satu kali pula. Dipihak lain, seorang penderita tuberculosis paru akan dihitung sebagai satu orang dan satu episode, tetapi mungkin berkunjung sampai 12 kali selama setahun.
Manakah yang kita pakai: orang, episode, atau kunjungan?
Untuk mengetahui proporsi penduduk yang menderita suatu penyakit kronis, kita harus menggunakan jumlah orang yang sakit. Untuk menilai keberhasilan program penanggulangan malaria, kita harus menggunakan jumlah episode (kejadian) baru yang terjadi selama (biasanya) satu tahun. Jika kita ingin meneliti pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan, kita harus menggunakan jumlah kunjungan, baik kunjungan baru maupun ulangan.

g.      Definisi kasus
Bagaimana suatu kasus didefinisakn adalah sangat penting. Hal ini sering kali kurang atau malah sama sekali tidak diperhatikan. Daftar penyakit yang ada dalam formulir laporan bulanan tidak disertai definisi kasus yang tegas. Pengisiannya terserah pada pertimbangan dokter atau perawat yang memeriksa, atau malah terserah petugas R/R yang bertanggung jawab mengisinya. Misalnya saja, penyakit ISPA dan influenza sering dicampur adukkan, sedangkan penyakit tukak lambung yang sering didiagnosa tidak jelas batasannya. Apa yang disebut kasus demam berdarah dengue (DBD) mungkin ditafsirkan secara berbeda dari satu puskesmas ke puskesmas lain, atau dari satu daerah ke daerah lain. Hal ini tentu saja akan sangat menyulitkan pembandingan.
Agar data yang satu dapat dibandingkan dengan data yang lain, perlu dibuat definisi kasus yang jelas, dan definisi yang telah dibuat itu perlu ditaati oleh semua orang yang membuat diagnose tanpa kecuali. Contoh: kasus malaria klinis perlu didefinisikan secara jelas, begitu pula kasus malaria definitive (confirmed) yang didukung dengan pemeriksaan sediaan darah.
Untuk beberapa penyakit tertentu perlu dibuat 2 atau 3 kriteria diagnostic:
1)      Diagnostic klinis dan diagnostic pasti (dengan dukungan pemeriksaan laboratorium)
2)      Possible case, probable case dan confirmed case.
Sudah tentu agar dapat dibandingkan satu daerah dengan daerah lain, criteria ini harus secara nasional, bahkan secara international.

h.      Indicator kesehatan
Indicator kesehatan adalah ukuran yang dipilih dan dipakai untuk:
1)      Menganalisa kasus yang ada
2)      Membuat perbandingan
3)      Mengukur kecenderungan dalam batas waktu
Topic ini telah cukup dibahas dalam modul konsep dasar epidemiologi

III.    PRINSIP- PRINSIP DEMOGRAFI
Informasi mengenai demografi pada umumnya diperoleh dari sensus penduduk yang diadakan setiap sepuluh tahun. Sensus yang terakhir di Indonesia diadakan pada tahun 1990.
Disebuah kabupaten yang berpenduduk 200.000 jiwa di Negara berkembang, distribusi penduduk menurut kelompok umur mungkin akan terlibat sebagai berikut:

Table 1: distribusi penduduk menurut umur
di sebuah kabupaten Negara berkembang

KELOMPOK UMUR (TAHUN)
PROPORSI (%)
POPULASI
1
4
8.000
1 – 4
14
28.000
5 – 14
26
52.000
15 – 44
43
86.000
45 +
13
26.000
JUMLAH
100
200.000

Proporsi bayi dibawah 12 bulan biasanya berkisar 3 – 4 % dari penduduk seluruh, proporsi anak usia 0 – 4 tahun berkisar antara 18 – 20 % (seperlima), dan proporsi anak usia 0 – 14 tahun berkisar antara 40 – 44 % (dua-perlima), apabila tingkat kesuburan masih tinggi. Apabila program KB telah menunjukkan dampak, maka proporsi- proporsi itu akan lebih kecil. Wanita usia subur (15b- 44 tahun) berkisar antara 20 – 22 % (seperlima). Pedoman kasar ini dapat dipakai untuk memperoleh perkiraan apabila data yang benar tidak dapat diperoleh.

a.      Kepadatan penduduk
Kepadatan penduduk dinyatakan dalam jumlah rata- rata penduduk per km2. Kepadatan penduduk ini dapat bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lain dalam kabupaten.
Pengetahuan tentang kepadatan penduduk ini penting dalam perencanaan pelayanan kesehatan, terutama dalam merencanakan pembangunan puskesmas atau puskesmas pembantu yang baru, dan dalam menilai akses dan cakupan berbagai program kesehatan.

ANGKA – ANGKA KEPENDUDUKAN

1)      Angka Kelahiran Kasar (Crude Birth Rate – CBR)
 





CBR di daerah yang tingkat kesuburannya masih tinggi dapt mencapai 45 per 1000 penduduk, apabila tingkat kesuburan telah turun, CBR dapat mencapai 20 per 1000 penduduk.
Dengan mengetahui CBR, dapat diperkirakan kelahiran yang akan terjadi selama setahun.
2)     




Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate – CDR)




CDR berkisar antara 10 – 20 per 1000 penduduk
3)     




Angka Kematian Bayi (Infant Mortality Rate – IMR)



IMR dianggap sebagai indicator yang sensitive bagi derajat kesehatan suatu masyarakat. Sebagian besar kematian bayi terjadi pada bulan pertama kehidupan, kematian pada masa itu disebut kematian neonatal.
Angka – angka diatas biasanya diperoleh dari sensus penduduk atau dari survey- survey khusus yang diadakan untuk itu.
4)      Angka Kematian Ibu Hamil / Bersalin (Maternal Mortality Rate – MMR)
 



Angka ini sering diabaikan, oleh karena dianggap terlalu kecil. Di Negara berkembang bisanya berkisar antara1 – 5 per 1000 kelahiran hidup per tahun. Di kabupaten yang berpenduduk 200.000 orang dengan CBR 40 per 1000 dapat diperkirakan akan terjadi 8 – 40 kematian ibu hamil / bersalin per tahun. Dalam hal ini lebih penting diketahui angka mutlaknya daripada ratenya karena jumlahnya sangat kecil. Di Negara-negara maju MMR berkisar sekitar 5 per 100.000 kelahiran, berarti 100 kali lebih kecil dibandingkan dengan berkembang!.

b.      Pertambahan penduduk
Pertambahan penduduk disuatu daerah ditentukan oleh kelahiran, kematian dan perpindahan penduduk. Angka pertambahan penduduk sebaiknya diperoleh dari hasil sensus penduduk dan jangan dihitung dengan menggunakan angka kematian dari angka kelahiran.
Angka pertambahan penduduk digunakan untuk membuat proyeksi jumlah penduduk pada tahun –tahun diantara 2 sensus.

IV.    PERENCANAAN PROGRAM KESEHATAN
Dalam perencanaan program kesehatan terdapat 3 pertanyaan penting:
-          Kemana kita ingin pergi?
-          Dimana kita sekarang?
-          Bagaimana caranya menuju kesana?

Untuk menjawab pertanyaan “kemana”, perlu dikembangkan rencana pembangunan dan kebijaksanaan kesehatan nasional, yang dinyatakan secara operasional, dengan tujuan dan target yang spesifik.
Untuk menjawab pertanyaan “dimana”, kita perlu mengkaji status kesehatan masyarakat pada saat ini, serta sumber daya yang tersedia dalam hal sarana pelayanan, ketenagaan, peralatan, bahan dan keuangan. Kemudian, perlu pula dikaji akses, cakupan, efisiensi, dan keefektifan sarana dan program kesehatan. Disamping itu, sangat perlu pula dikaji pandangan masyarakat mengenai program dan pelayanan kesehatan.
Untuk menjawab pertanyaan “bagaimana”, perlu ditetapkan prioritas masalah yang akan digarap, kegiatan yang akan dilakukan, dan manajemen yang diperlukan untuk mendukungnya.
Informasi yang dibutuhkan untuk perencanaan program kesehatan biasanya tidak pernah dan tepat seperti apa yang kita inginkan. Seringkali keputusan harus diambil berdasarkan perkiaraan, atau bahkan dugaan semata- mata. Namun, bagaimana pun keadaan informasi kesehatan yang ada, perencana harus menetapkan tujuan yang diharapkan akan dicapai dalam periode pembangunan yang akan datang.
Pendekatan pelayanan kesehatan dasar (primary health care – PHC) telah disepakati diseluruh dunia sebagai kebijaksanaan yang tepat guna untuk meningkatkan stauts kesehatan masyarakat. Sekurang- kurangnya terdapat 8 unsur pokok dari PHC. (apakah ke-8 unsur pokok itu?):
-          Melatih dan memanfaatkan tenaga kader kesehatan.
-          Meningkatkan peran serta masyarakt dalam perencanaan dan pelaksanaan program kesehatan.
-          Membina koordinasi lintas sektoral, terutama dengan sector- sector yang banyak berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat (pertanian, pekerjaan umum, perumahan, pendidikan, pemerintah daerah dsb)
-          Membina kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat, serta pihak swasta yang bergerak di bidang kesehatan, baik secara tradisional maupun modern.
-          Mendesentralisasikan pengambilan keputusan dan perencanaan program kesehatan ke tingkat yang lebih rendah (Dati II).
  
a.      Rencana program kesehatan
Penetapan tujuan dan kebijaksanaan rencana pembangunan kesehatan dalam jangka panjand dan jangka menengah adalah tanggung jawab Pemerintah Pusat, sedangkan penjabaran rencana jangka menengah menjadi rencana tahunan dapat dilakukan di tingkat Dati II.
Tujuan (goal) jangka panjang ditetapkan secara luas, misalnya “Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat”.
Goal ini dijabarkan menjadi tujuan (objectives) khusus atau target yang dapat dicapai dalam jangka menengah (satu pelita), misalnya “menurunkan angka kematian bayi (AKB) dari 80 menjadi 60 per 1000 kelahiran hidup setahun” (tujuan khusus).
Tujuan khusus adalah keadaan yang dapat diukur secara kuantitatif dan diharapkan dapat dicapi dalam jangka waktu tertentu. Apabila tujuan ini berkenaan dengan keluaran dari suatu kegiatan program, maka biasanya dinamakan target. Sudah tentu tujuan atau target harus ditetapkan secara realitas, dengan mengingat sumber daya yang tersedia atau yang diproyeksikan selama jangka waktu yang bersangkutan.
Adanya suatu rencana pembangunan kesehatan di tingkat Dati II hanyalah titik aawal dari usaha perbaikan manajemen kesehatan di tingkat tersebut. Proses ini dapat digambarkan sebagai berikut:




(sebenarnya proses ini lebih baik dipahami sebagai suatu lingkaran yang berlanjut)
Dalam proses ini sangat diperlukan ketrampilan menggunakan epidemiologi untuk mendapatkan dan menafsirkan informasi kesehatan yang dibutuhkan untuk:


b.      Situasi kesehatan sekarang
Langkah pertama dalam perencanaan di tingkat Dati II ialah membuat analisa situasi kesehatan di wilayahnya sehingga dihasilkan suatu profil kesehatan Dati II yang dapat menjawab pertanyaan “dimana kita sekarang”. Untuk itu dibutuhkan informasi mengenai…….



c.       Menetapkan prioritas kesehatan Dati II
Angka insidens atau angka prevalenslangkah selanjutnya dalam perencanaan ditingkat Dati II ialah menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menuju kesana?”. Suatu analasis terhadap profil kesehatan dati II tersebut diatas hendaknya dapat mengidentifikasikan hal- hal sebagai berikut:
*      Masalah- masalah kesehatan yang terpenting
*      Kelompok- kelompok resiko tinggi
*      Akses dan cakupan dari berbagai program kesehatan
*      Penatalaksanaan dari program- program tersebut
 Oleh karena sumber daya yang ada selalu tidak pernah mencukupi, maka perlu ditetapkan prioritas Dati II yang bersangkutan dalam penerapan pendekatan PHC disana. Perlu ditetapkan kelompok masyarakatmana, penyakit / masalah kesehatan mana, program kesehatan mana yang akan mendapat lebih banyak perhatian dan sumber daya. Ini bukan suatu proses yang mudah. Selain dibutuhkan informasi epidemiologic yang baik, perlu pula diperhatikan prioritas yang telah ditetapkan secara nasional, serta factor- factor politis, social dan ekonomi setempat. Dalam penetapan prioritas ini perlu diikutsertakan wakil- wakil masyarakat, pemerintah daerah dan badan perencanaan setempat.
Tidak ada satu jawaban yang “benar” terhadap masalah penetapan prioritas. Prioritas hendaknya ditetapkan berdasarkan prinsip kegiatan mana yang diperkirakan akan menghasilkan dampak terbesar dalam derajat kesehatan masyarakat. Ada baiknya dibuat suatu matriks prioritas, dimana setiap penyakit diberi skor untuk berbagai kriteria yang ditetapkan, mis:

 



Contoh matriks prioritas masalah kesehatan
Penyakit
Besar masalah
Keefektifan
Biaya
Aspek poleksos
Jumlah skor
Campak
+++
+++
+++
+++
12
Diare
+++
++
+++
+++
11
Malaria
+++
++
++
++
9
Tuberkulosis
+
++
++
+
6
Dan sebagainya





Keterangan: +++ prioritas tinggi, ++ sedang, + rendah

d.      Kelompok resiko tinggi
Setiap orang mempunyai resiko untuk jatuh sakit, tetapi kelompok- kelompok penduduk tertentu mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi untuk mengalami penyakit tertentu, kelompok demikian disebut kelompok resiko tinggi, yang harus diberi perhatian lebih banyak dalam perencanaan program kesehatan, agar program tersebut menjadi efektif dan efisien.

e.       Akses dan Cakupan
Akses mengukur proporsi penduduk yang dapat mencapai suatu sarana pelayanan kesehatan secara wajar, hal ini dapat diukur dengan jarak (mis: 5 / 10 km) , waktu tempuh (mis: 12 jam berjalan kaki), biaya (mis: biaya perjalanan dan biaya berobat), atau factor cultural (mis: kesenjangan social yang menyebabkan orang segan berobat, hambatan bahasa dsb). Dalam program PPI (imunisasi), akses diukur dengan proporsi sasaran yang mendapat imunisasiDPT 1.
Cakupan adalah proporsi penduduk yang benar- benar menerima pelayanan kesehatan tertentu, mis: persen ibu hamil yang memeriksa diri, persen rumah tangga yang mempunyai sarana air bersih dsb. Dalam program PPI, cakupan diatur dengan prosen sasaran yang mendapat imunisasi lengkap DPT 3, Polio 3, campak.
Sudah jelas bahwa cakupan akan rendah apabila akses rendah. Akses menggambarkan jangkauan pelayanan kesehatan, sedangkan cakupan menggambarkan kelengkapan pelayanan kesehatan. Akses perlu ditingkatkan lebih dahulu sebelum cakupan diperhatikan.
Cara mengukur akses. Suatu cara yang mudah untuk memperkirakan akses adalah dengan membuat lingkaran dengan radius 5 atau 10 km pada peta di sekitar setiap sarana kesehatan (puskesmas, pustu, posyandu) dan menghitung jumlah penduduk yang tinggal di dalam lingkaran tersebut.
Cara mengukur cakupan. Jumlah sasaran yang mendapat pelayanan diperoleh dari laporan pelaksanaan program. Jumlah sasaran yang seharusnya mendapat pelayanan diperoleh dari data demografi.
Contoh:
Di kabupaten A yang berpenduduk 200.000 jiwa, proporsi bayi dibawah usia 12 bulan adalah 4% (menurut hasil sensus penduduk yang terakhir). Jadi jumlah bayi adalah 800 orang. Laporan imunisasi menunjukkan 2400 bayi di bawah 1 tahun telah mendapat DPT 3 selama tahun yang silam. Makaupan DPT 3 = 2400/8000 x 100% = 30 %. Jika cakupan nasional adalah 45%, dan target pelita adalah 80%, maka perencana di Dati II harus berpikir keras; pertama perlu dikaji bagaimana akses terhadap pelayanan imunisasi (berupa cakupan DPT 1); kemudian bagaimana droup-out nya, yaitu (DPT 1-DPT 3/DPT 1, yang mencerminkan manajemenprogram imunisasi).

f.       Menyusun rencana program kesehatan Dati II
Dengan menggunakan pendekatan epidemiologi, sampai taraf ini perencana telah:
1
Menyelesaikan analisis situasi di wilayahnya
2
Menetapkan prioritas untuk tahun yang akan datang atau pelita yang akan datang
3
Menetapkan kelompok resiko tinggi yang akan menjadi sasaran program
4
Membeuat rencana peningkatan akses dan cakupan dari program prioritas
5
Menetapkan tujuan dan indicator untuk penilaian keberhasilan
Langkah berikutnya adalah membuat kerangka rencana program jangka menengah (5 tahun); setelah itu baru menyusun rencana tahunan yang terinci. Rencana tahunan adalah cara untuk mencapai tujuan jangka menengah.
Setelah proses diatas selesai, barulah dibuat rencana kegiatan (plan of action) yang diperlukan agar rencana program dapat terlaksana. Perlu disadari bahwa perencanaan program kesehatan adalah suatu hal yang rumit. Oleh karena itu dianjurkan untuk memilih beberapa masalah yang penting saja dan tidak mencoba melakukan perencanaan secara menyeluruh.
Langkah- langkah yang dianjurkan dalam menyusun rencana kegiatan



g.      Penilaian keberhasilan
Penilaian keberhasilan suatu program kesehatan dapat dilakukan dengan 2 cara:
1)      Menilai apa yang telah dikerjakan (output) oleh program dibandingkan dengan apa yang semula direncanakan.
2)      Menilai terjadinya perubahan pada indicator status kesehatan  yang menggambarkan dampak dari program.
Biasanya dampak program baru akan terlihat setelah program berjalan pada kurun waktu beberapa tahun.


  

Bila suatu kegiatan harus dilakukan terus- menerus selama setahun, ada baiknya dibuat grafik kumulatif untuk memantau kemajuan dari bulan ke bulan. Target setahun dibagi 12 untuk mendapatkan target sebulan.
Contoh:
Di kabupaten A yang berpenduduk 200.000 jiwa, 4% diantaranya adalah bayi usia 1 th (8000 bayi). Rencana program imunisasi adalah memperbaiki cakupan DPT 3 tahun lalu (30%) sehingga mencapai cakupan nasional sebesar 45%. Maka target bayi untuk DPT 3 tahun ini adalah 0.45% x 8000 = 3600 bayi. Target ini sebulan adalah 3600 : 12 = 300 bayi. Cakupan DPT 3 selama 6 bulan pertama adalah: januari 310, februari 300, maret 280, april 240, mei 200, juni 170.
Bila diakumulatifkan maka:
Bulan
Cakupan bulanan
Cakupan kumulatif
Januari
310
310
Februari
300
610
Maret
280
890
April
240
1130
Mei
200
1330
Juni
170
1500

 

Selama 6 bulan pertama rata- rata cakupan adalah 250 bayi sebulan. Dari grafik terlihat bahwa pada bulan- bulan pertama program berjalan sebagaimana diharapkan, tetapi kemudian turun dibawah target. Hal ini menunjukkan perlunya dikaji sebab- sebab mengapa program tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Alternatifnya adalah mencoba meningkatkan kegiatan dan menetapkan target bulanan yang baru (350 bayi/ bulan) atau memutuskan bahwa target semula adalah ambisius, dan secara realistis menurunkan target menjadi 250 /bulan, yang berarti 3000 /tahun, sama dengan cakupan sekitar 38%. Ini sudah merupakan perbaikan dari hasil tahun lalu, tetapi masih kurang dibandingkan dengan cakupan nasional tahun lalu.


V.       PENUTUP
Dari uraian diatas jelas bahwa pendekatan epidemiologi sangat berguna dalam berbagai tahap pengelolaan program- program kesehatan. Hasil guna dan daya guna suatu program kesehatan sangat ditentukan oleh penggunaan informasi yang baik, yang dapat diperoleh dengan menerapkan pendekatan epidemiologi.


No comments:

Post a Comment