TUGAS KELOMPOK
MATA KULIAH EPIDEMIOLOGI
“APLIKASI EPIDEMIOLOGI”
Nama
Kelompok :
1.
Arian Handoko
2.
Bagus Hartanto
3.
Doni Ardiyanto
4.
Dwi Enggar Widi Saptana
5.
Harjanti
6.
Herdiana widyastuti
YAYASAN
PENDIDIKAN HAKLI SEMARANG
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
STIKES “HAKLI” SEMARANG
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
SEMARANG
APLIKASI EPIDEMIOLOGI
I.
PENDAHULUAN
Modul
ini adalah kelanjutan dari dan merupakan rangkaian kesatuan dengan modul Konsep
Dasar Epidemiologi sebelumnya. Setelah menamatkan modul ini peserta diharapkan
akan dapat memahami dan membimbing stafnya untuk:
a. Memahami
prinsip- prinsip epidemiologi
b. Memahami
prinsip- prinsip demografi
c. Mengkaji
mutu data epidemiologi yang ada
d. Menggunakan
pendekatan epidemiologi dalam perencanaan program- program kesehatan
II.
PRINSIP-
PRINSIP EPIDEMIOLOGI
Salah satu definisi dari epidemiologi adalah “ilmu
yang mempelajari frekuensi, distribusi dan factor- factor penentu
(determinants) dari penyakit atau masalah kesehatan pada populasi manusia”.
Tujuan dari epidemiologi adalah untuk memperoleh,
menafsirkan dan menggunakan informasi kesehatan untuk mengurangi penyakit dan
meningkatkan kesehatan.
Prinsip- prinsip dasar epidemiologi adalah sangat
praktis dan relevan, bukan saja untuk pengelola program di tingkat dati II,
melainkan juga untuk seluruh petugas kesehatan, bahkan untuk setiap orang yang
terlibat dalam segala macam pelayanan kepada masyarakat.
a.
Tahap-
tahap pendekatan epidemiologi
1)
Epidemiologi
deskriptif
Tahap ini
mempertanyakan:
a) Apakah
yang menjadi masalah?
b) Berapakah
besar masalahnya?
c) Siapakah
yang terkena, dimana dan bilamana
Jadi,
menurut definisi diatas tahap ini berhubungan dengan frekuensi dan distribusi
atau masalah kesehatan.
2)
Epidemiologi
analitik
Tahap ini menganalisa sebab- sebab, atau factor-
factor penentu (determinants) dengan cara menguji hipotesis- hipotesis untuk
menjawab pertanyaan seperti:
a) Apa
yang menyebabkan terjadinya penyakit itu?
b) Mengapa
kejadian itu masih terus berlangsung?
3)
Epidemiologi
intervensi / eksperimental
Disini
dilakukan ujicoba klinik atau masyarakat untuk menentukan keefektifan cara-
cara baru untuk menanggulangi penyakit atau untuk memperbaiki keadaan- keadaan
yang mendasarinya.
4)
Epidemiologi
evaluative
Tahap
ini mencoba mengukur keberhasilan berbagai pelayanan dan program kesehatan, dan
mencoba menjawab pertanyaan penting: jadi bagaimana, apakah ada peningkatan
kesehatan?
Tahap
analitik dan eksperimental mungkin tidak akan digunakan di tingkat Dati II oleh
karena itu dibutuhkan metoda penelitian yang rumit, seperti penelitian kasus-
control, kohort atau uji coba klinik.
Namun
epidemiologi deskriptif dan epidemiologi evaluative sangat bermanfaat dan
seharusnya pendekatan ini digunakan secara luas di tingkat Dati II.
b.
Epidemiologi
dan Informasi
Epidemiologi
berkaitan erat dengan informasi. Informasi ini dibutuhkan dalam perencanaan,
pelaksanaan dan penilaian program- program kesehatan. Jenis- jenis data yang
dibutuhkan untuk menyediakan informasi tersebut dapat difikirkan dengan
menjawab serangkaian pertanyaan berikut:
APA
|
Yang
menjadi masalah kesehatan?
|
SIAPA
|
Yang
terkena: distribusinya menurut umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan
dsb?
|
DIMANA
|
Masalah
itu terjadi: menurut tempat tinggal, tempat kerja dsb?
|
KAPAN
|
Masalah
itu terjadi: menurut hari, bulan, musim dsb?
|
BAGAIMANA
|
Masalah
itu terjadi: keadaan khusus, vector, sumber penularan, kelompok rentan,
factor- factor penentu lain?
|
MENGAPA
|
Masalah
itu terjadi: mengapa masih berlanjut terus
|
LALU,
APA
|
Tindakan
intervensi yang telah dilakukan berdasarkan informasi yang ada, dan bagaimana
keberhasilannya?
Apakah
telah terdapat peningkatan kesehatan?
|
c.
Populasi
yang terancam dan cakupan
Berbeda
dengan disiplin ilmu kesehatan klinik yang mempelajari masalah kesehatan pada
seorang individu, seorang petugas kesehatan masyarakat yang menggunakan
pendekatan epidemiologi perlu mendasarkan pekerjaanya pada seluruh populasi
(disini; populasi Dati II) dan pada kelompok- kelompok penduduk khusus, bukan
hanya terhadap mereka yang datang ke sarana pelayanan kesehatan saja. Konsep
yang sangat penting dalam epidemiologi ini disebut populasi yang terancam (population at risk) atau populasi penyebut
(denominator population). Ini adalah keseluruhan penduduk di wilayah yang
bersangkutan yang mungkin mengalami penyakit yang bersangkutan.
Sebagai contoh:
kita tidak hanya perlu tahu berapa jumlah anak yang diimunisasi, berapa jumlah
penderita kusta yang datang berobat, atau berapa jumlah rumah yang telah
disemprot, melainkan juga berapa jumlah seluruh anak yang harus diimunisasi,
jumlah seluruh penderita kusta yang diperkirakan ada, dan jumlah seluruh rumah
yang seharusnya disemprot.
Perbandingan
antara jumlah yang telah menerima pelayanan dan jumlah seluruhnya yang seharusnya dilayani disebut cakupan. Cakupan merupakan salah satu petunjuk mengenai tingkat keberhasilan
program.
d.
Ukuran
frekuensi
Dua
jenis ukuran frekuensi penyakit yang paling sering digunakan adalah insidens dan prevalens. Perbedaan
antara kedua ini perlu diketahui dengan jelas.
1)
Insidens
Mengukur
terjadinya kasus baru selama suatu jangka waktu tertentu, biasanya setahun.
Ukuran ini merupakan petunjuk yang terbaik mengenai kecenderungan dari suatu
masalah kesehatan, apakah masalah itu meningkat, menurun atau tetap sama. Oleh
karena itu merupakan juga ukuran yang terbaik mengenai keberhasilan suatu
program kesehatan. Ukuran ini digunakan dalam system surveilans dan untuk
menganalisis pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan.
Contoh:
jumlah kelahiran dan kematian selama setahun, jumlah kasus tetanus neonatrum
yang ditemukan selama setahun, jumlah kunjungan pertama ibu hamil ke klinik KIA
selama sebulan, jumlah kasus baru tuberculosis baru yang berobat selama setahun
dan sebagainya.
2)
Prevalens
Mengukur jumlah kasus yang aktif/ ada pada suatu titik
waktu tertentu, biasanya pada suatu hari tertentu. Mungkin lebih sulit untuk
menafsirkan prevalens daripada insidens oleh karena prevalens merupakan paduan
antara insidens dan rata- rata lamanya suatu penyakit berlangsung (duration).
Contoh:
jumlah penderita
tuberculosis baru yang terdaftar pada awal
bulan, atau jumlah tempat tidur rumah sakit yang terisi setiap hari.
Prevalens sangat berguna untuk mengukur penyakit yang
bersifat kronis, sedangkan insidens berguna untuk penyakit yang berlangsung
relative singkat, seperti (campak, diare, pneumonia). Survey cross-sectional biasanya
berguna untuk mengukur prevalens penyakit kronis seperti kusta atau
tuberculosis paru.
Dalam keadaan yang stabil, insidens dan prevalens berhubungan
menurut rumus
Maka untuk penyakit kronis,
insidennya per tahun akan jauh lebih rendah daripada prevalensnya. Contoh: angka
prevalens tuberculosis paru biasanya berkisar antara 0.5% - 10% (atau 5 – 10
kasus per 1000 penduduk), dan rata- rata lama penyakit yang tidak diobati
adalah 4 – 5 tahun. Ini berarti
angka insidens kasus baru tuberculosis paru adalah antara 0.1 – 0.2 % (atau 1
-2 kasus per 1000 penduduk). Di daerah yang mempunyai system penemuan dan
pelaporan kasus tuberculosis paru yang baik, angka insidens dapat digunakan.
Tetapi di daerah yang sistemnya tidak dapat memberikan data yang dapat
dipercaya, mungkin perlu dilakukan survey-sectional untuk memperoleh angka
prevalens.
e.
Angka
mutlak dan rate
Insidens
dan prevalens dapat disajikan sebagai angka mutlak atau dihitung sebagai rate
angka insidens atau angka prevalens. Data yang tersedia biasanya merupakan
angka mutlak, dan ini biasanya yang dilaporkan dalam laporan rutin, dimana
populasi yang terancam dapat dianggap stabil menurut tempat dan waktu yang
terbatas.
Bila
kita ingin melihat kecenderungan dalam waktu, atau membandingkan frekuensi
penyakit pada beberapa kelompok penduduk, atau beberapa daerah maka penggunaan
angka mutlak dapat menyesatkan. Besar populasi dan distribusi umur pada
kelompok- kelompok yang hendak dibandingkan perlu diperhitungkan.
Untuk
itu insidens atau prevalens penyakit perlu ditanyakan sebagai rate (angka
insidens atau angka prevalens). Angka insidens atau angka prevalens sebagai
pembilang (numerator) dengan jumlah penduduk terancam sebagai penyebut
(denominator).
Penduduk yang terancam ini mungkin adalah seluruh
penduduk diwilayah kabupaten, atau penduduk diwilayah tertentu saja yang lebih
kecil, atau penduduk pada golongan umur tertentu saja dsb.
Contoh:
1) Di
kabupaten A yang berpenduduk berjumlah 200.000 orang, dilaporkan sebanyak 40
kasus baru tuberculosis paru selama tahun 1989. Maka angka insidens
tuberculosis paru di kabupaten tersebut dalam tahun 1989 adalah:
Insidens rate = 40 /
200.000
= 0.2 kasus
per 1000 penduduk per tahun.
2) Di
kabupaten tersebut pada akhir tahun 1989 tercata sebanyak 250 orang penderita
tuberculosis paru yang berobat. Maka angka prevalens tuberculosis paru pada
akhir tahun 1989 adalah:
Prevalens rate = 250 /
200.000
= 0.2
kasus per 1000 penduduk.
f.
Episode,
orang atau kunjungan
Adalah
sangat penting untuk membedakan apakah yang dihitung itu orang, episode atau
kunjungan. Untuk penyakit seperti ISPA dan diare, seseorang dapat mengalami
lebih dari satu kali episode (kejadian) dalam setahun. Untuk setiap kejadian ia
dapat dating berobat lebih dari satu kali pula. Dipihak lain, seorang penderita
tuberculosis paru akan dihitung sebagai satu orang dan satu episode, tetapi
mungkin berkunjung sampai 12 kali selama setahun.
Manakah
yang kita pakai: orang, episode, atau kunjungan?
Untuk
mengetahui proporsi penduduk yang menderita suatu penyakit kronis, kita harus
menggunakan jumlah orang yang sakit. Untuk menilai keberhasilan program
penanggulangan malaria, kita harus menggunakan jumlah episode (kejadian) baru
yang terjadi selama (biasanya) satu tahun. Jika kita ingin meneliti pemanfaatan
sarana pelayanan kesehatan, kita harus menggunakan jumlah kunjungan, baik
kunjungan baru maupun ulangan.
g.
Definisi
kasus
Bagaimana
suatu kasus didefinisakn adalah sangat penting. Hal ini sering kali kurang atau
malah sama sekali tidak diperhatikan. Daftar penyakit yang ada dalam formulir
laporan bulanan tidak disertai definisi kasus yang tegas. Pengisiannya terserah
pada pertimbangan dokter atau perawat yang memeriksa, atau malah terserah
petugas R/R yang bertanggung jawab mengisinya. Misalnya saja, penyakit ISPA dan
influenza sering dicampur adukkan, sedangkan penyakit tukak lambung yang sering
didiagnosa tidak jelas batasannya. Apa yang disebut kasus demam berdarah dengue
(DBD) mungkin ditafsirkan secara berbeda dari satu puskesmas ke puskesmas lain,
atau dari satu daerah ke daerah lain. Hal ini tentu saja akan sangat
menyulitkan pembandingan.
Agar
data yang satu dapat dibandingkan dengan data yang lain, perlu dibuat definisi
kasus yang jelas, dan definisi yang telah dibuat itu perlu ditaati oleh semua
orang yang membuat diagnose tanpa kecuali. Contoh: kasus malaria klinis perlu
didefinisikan secara jelas, begitu pula kasus malaria definitive (confirmed)
yang didukung dengan pemeriksaan sediaan darah.
Untuk beberapa penyakit
tertentu perlu dibuat 2 atau 3 kriteria diagnostic:
1) Diagnostic
klinis dan diagnostic pasti (dengan dukungan pemeriksaan laboratorium)
2) Possible
case, probable case dan confirmed case.
Sudah tentu agar dapat
dibandingkan satu daerah dengan daerah lain, criteria ini harus secara
nasional, bahkan secara international.
h.
Indicator
kesehatan
Indicator kesehatan
adalah ukuran yang dipilih dan dipakai untuk:
1) Menganalisa
kasus yang ada
2) Membuat
perbandingan
3) Mengukur
kecenderungan dalam batas waktu
Topic ini telah cukup
dibahas dalam modul konsep dasar epidemiologi
III.
PRINSIP-
PRINSIP DEMOGRAFI
Informasi mengenai demografi pada umumnya diperoleh
dari sensus penduduk yang diadakan setiap sepuluh tahun. Sensus yang terakhir
di Indonesia diadakan pada tahun 1990.
Disebuah kabupaten yang berpenduduk 200.000 jiwa di
Negara berkembang, distribusi penduduk menurut kelompok umur mungkin akan
terlibat sebagai berikut:
Table
1: distribusi penduduk menurut umur
di
sebuah kabupaten Negara berkembang
KELOMPOK UMUR (TAHUN)
|
PROPORSI (%)
|
POPULASI
|
1
|
4
|
8.000
|
1
– 4
|
14
|
28.000
|
5
– 14
|
26
|
52.000
|
15
– 44
|
43
|
86.000
|
45
+
|
13
|
26.000
|
JUMLAH
|
100
|
200.000
|
Proporsi bayi dibawah
12 bulan biasanya berkisar 3 – 4 % dari penduduk seluruh, proporsi anak usia 0
– 4 tahun berkisar antara 18 – 20 % (seperlima), dan proporsi anak usia 0 – 14
tahun berkisar antara 40 – 44 % (dua-perlima), apabila tingkat kesuburan masih
tinggi. Apabila program KB telah menunjukkan dampak, maka proporsi- proporsi
itu akan lebih kecil. Wanita usia subur (15b- 44 tahun) berkisar antara 20 – 22
% (seperlima). Pedoman kasar ini dapat dipakai untuk memperoleh perkiraan
apabila data yang benar tidak dapat diperoleh.
a.
Kepadatan
penduduk
Kepadatan
penduduk dinyatakan dalam jumlah rata- rata penduduk per km2.
Kepadatan penduduk ini dapat bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lain dalam
kabupaten.
Pengetahuan tentang
kepadatan penduduk ini penting dalam perencanaan pelayanan kesehatan, terutama
dalam merencanakan pembangunan puskesmas atau puskesmas pembantu yang baru, dan
dalam menilai akses dan cakupan berbagai program kesehatan.
ANGKA
– ANGKA KEPENDUDUKAN
1)
Angka
Kelahiran Kasar (Crude Birth Rate – CBR)
CBR
di daerah yang tingkat kesuburannya masih tinggi dapt mencapai 45 per 1000
penduduk, apabila tingkat kesuburan telah turun, CBR dapat mencapai 20 per 1000
penduduk.
Dengan mengetahui CBR,
dapat diperkirakan kelahiran yang akan terjadi selama setahun.
2)
Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate – CDR)
Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate – CDR)
CDR
berkisar antara 10 – 20 per 1000 penduduk
3)
Angka Kematian Bayi (Infant Mortality Rate – IMR)
Angka Kematian Bayi (Infant Mortality Rate – IMR)
IMR dianggap sebagai indicator yang sensitive bagi
derajat kesehatan suatu masyarakat. Sebagian besar kematian bayi terjadi pada
bulan pertama kehidupan, kematian pada masa itu disebut kematian neonatal.
Angka – angka diatas biasanya diperoleh dari sensus
penduduk atau dari survey- survey khusus yang diadakan untuk itu.
4)
Angka
Kematian Ibu Hamil / Bersalin (Maternal Mortality Rate – MMR)
Angka ini sering diabaikan, oleh karena dianggap
terlalu kecil. Di Negara berkembang bisanya berkisar antara1 – 5 per 1000
kelahiran hidup per tahun. Di kabupaten yang berpenduduk 200.000 orang dengan
CBR 40 per 1000 dapat diperkirakan akan terjadi 8 – 40 kematian ibu hamil /
bersalin per tahun. Dalam hal ini lebih penting diketahui angka mutlaknya
daripada ratenya karena jumlahnya sangat kecil. Di Negara-negara maju MMR
berkisar sekitar 5 per 100.000 kelahiran, berarti 100 kali lebih kecil
dibandingkan dengan berkembang!.
b.
Pertambahan
penduduk
Pertambahan
penduduk disuatu daerah ditentukan oleh kelahiran, kematian dan perpindahan
penduduk. Angka pertambahan penduduk sebaiknya diperoleh dari hasil sensus
penduduk dan jangan dihitung dengan menggunakan angka kematian dari angka
kelahiran.
Angka pertambahan
penduduk digunakan untuk membuat proyeksi jumlah penduduk pada tahun –tahun
diantara 2 sensus.
IV.
PERENCANAAN
PROGRAM KESEHATAN
Dalam perencanaan
program kesehatan terdapat 3 pertanyaan penting:
-
Kemana kita ingin pergi?
-
Dimana kita sekarang?
-
Bagaimana caranya menuju kesana?
Untuk
menjawab pertanyaan “kemana”, perlu dikembangkan rencana pembangunan dan
kebijaksanaan kesehatan nasional, yang dinyatakan secara operasional, dengan
tujuan dan target yang spesifik.
Untuk
menjawab pertanyaan “dimana”, kita perlu mengkaji status kesehatan masyarakat
pada saat ini, serta sumber daya yang tersedia dalam hal sarana pelayanan,
ketenagaan, peralatan, bahan dan keuangan. Kemudian, perlu pula dikaji akses,
cakupan, efisiensi, dan keefektifan sarana dan program kesehatan. Disamping itu,
sangat perlu pula dikaji pandangan masyarakat mengenai program dan pelayanan
kesehatan.
Untuk
menjawab pertanyaan “bagaimana”, perlu ditetapkan prioritas masalah yang akan
digarap, kegiatan yang akan dilakukan, dan manajemen yang diperlukan untuk
mendukungnya.
Informasi yang dibutuhkan
untuk perencanaan program kesehatan biasanya tidak pernah dan tepat seperti apa
yang kita inginkan. Seringkali keputusan harus diambil berdasarkan perkiaraan,
atau bahkan dugaan semata- mata. Namun, bagaimana pun keadaan informasi
kesehatan yang ada, perencana harus menetapkan tujuan yang diharapkan akan
dicapai dalam periode pembangunan yang akan datang.
Pendekatan
pelayanan kesehatan dasar (primary health care – PHC) telah disepakati
diseluruh dunia sebagai kebijaksanaan yang tepat guna untuk meningkatkan stauts
kesehatan masyarakat. Sekurang- kurangnya terdapat 8 unsur pokok dari PHC.
(apakah ke-8 unsur pokok itu?):
-
Melatih dan memanfaatkan tenaga kader
kesehatan.
-
Meningkatkan peran serta masyarakt dalam
perencanaan dan pelaksanaan program kesehatan.
-
Membina koordinasi lintas sektoral,
terutama dengan sector- sector yang banyak berpengaruh terhadap kesehatan
masyarakat (pertanian, pekerjaan umum, perumahan, pendidikan, pemerintah daerah
dsb)
-
Membina kerja sama dengan lembaga
swadaya masyarakat, serta pihak swasta yang bergerak di bidang kesehatan, baik
secara tradisional maupun modern.
-
Mendesentralisasikan pengambilan
keputusan dan perencanaan program kesehatan ke tingkat yang lebih rendah (Dati
II).
a.
Rencana
program kesehatan
Penetapan
tujuan dan kebijaksanaan rencana pembangunan kesehatan dalam jangka panjand dan
jangka menengah adalah tanggung jawab Pemerintah Pusat, sedangkan penjabaran
rencana jangka menengah menjadi rencana tahunan dapat dilakukan di tingkat Dati
II.
Tujuan (goal) jangka panjang ditetapkan
secara luas, misalnya “Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat”.
Goal ini dijabarkan
menjadi tujuan (objectives) khusus atau target yang dapat dicapai dalam jangka
menengah (satu pelita), misalnya “menurunkan angka kematian bayi (AKB) dari 80
menjadi 60 per 1000 kelahiran hidup setahun” (tujuan khusus).
Tujuan khusus adalah
keadaan yang dapat diukur secara kuantitatif dan diharapkan dapat dicapi dalam
jangka waktu tertentu. Apabila tujuan ini berkenaan dengan keluaran dari suatu
kegiatan program, maka biasanya dinamakan target. Sudah tentu tujuan atau
target harus ditetapkan secara realitas, dengan mengingat sumber daya yang
tersedia atau yang diproyeksikan selama jangka waktu yang bersangkutan.
Adanya
suatu rencana pembangunan kesehatan di tingkat Dati II hanyalah titik aawal
dari usaha perbaikan manajemen kesehatan di tingkat tersebut. Proses ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
(sebenarnya
proses ini lebih baik dipahami sebagai suatu lingkaran yang berlanjut)
Dalam
proses ini sangat diperlukan ketrampilan menggunakan epidemiologi untuk
mendapatkan dan menafsirkan informasi kesehatan yang dibutuhkan untuk:
b.
Situasi
kesehatan sekarang
Langkah
pertama dalam perencanaan di tingkat Dati II ialah membuat analisa situasi
kesehatan di wilayahnya sehingga dihasilkan suatu profil kesehatan Dati II yang
dapat menjawab pertanyaan “dimana kita sekarang”. Untuk itu dibutuhkan
informasi mengenai…….
c.
Menetapkan
prioritas kesehatan Dati II
Angka insidens atau angka prevalenslangkah
selanjutnya dalam perencanaan ditingkat Dati II ialah menjawab pertanyaan
“bagaimana caranya menuju kesana?”. Suatu analasis terhadap profil kesehatan
dati II tersebut diatas hendaknya dapat mengidentifikasikan hal- hal sebagai berikut:
Masalah- masalah kesehatan yang
terpenting
Kelompok- kelompok resiko tinggi
Akses dan cakupan dari berbagai program
kesehatan
Penatalaksanaan dari program- program
tersebut
Oleh karena sumber daya yang ada selalu tidak
pernah mencukupi, maka perlu ditetapkan prioritas Dati II yang bersangkutan
dalam penerapan pendekatan PHC disana. Perlu ditetapkan kelompok
masyarakatmana, penyakit / masalah kesehatan mana, program kesehatan mana yang
akan mendapat lebih banyak perhatian dan sumber daya. Ini bukan suatu proses
yang mudah. Selain dibutuhkan informasi epidemiologic yang baik, perlu pula
diperhatikan prioritas yang telah ditetapkan secara nasional, serta factor-
factor politis, social dan ekonomi setempat. Dalam penetapan prioritas ini
perlu diikutsertakan wakil- wakil masyarakat, pemerintah daerah dan badan
perencanaan setempat.
Tidak ada satu jawaban yang “benar” terhadap masalah penetapan
prioritas. Prioritas hendaknya ditetapkan berdasarkan prinsip kegiatan mana
yang diperkirakan akan menghasilkan dampak terbesar dalam derajat kesehatan
masyarakat. Ada baiknya dibuat suatu matriks prioritas, dimana setiap penyakit
diberi skor untuk berbagai kriteria yang ditetapkan, mis:
Contoh matriks prioritas masalah kesehatan
Penyakit
|
Besar masalah
|
Keefektifan
|
Biaya
|
Aspek poleksos
|
Jumlah skor
|
Campak
|
+++
|
+++
|
+++
|
+++
|
12
|
Diare
|
+++
|
++
|
+++
|
+++
|
11
|
Malaria
|
+++
|
++
|
++
|
++
|
9
|
Tuberkulosis
|
+
|
++
|
++
|
+
|
6
|
Dan sebagainya
|
|
|
|
|
|
Keterangan:
+++ prioritas tinggi, ++ sedang, + rendah
d.
Kelompok
resiko tinggi
Setiap
orang mempunyai resiko untuk jatuh sakit, tetapi kelompok- kelompok penduduk
tertentu mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi untuk mengalami penyakit
tertentu, kelompok demikian disebut kelompok resiko tinggi, yang harus diberi
perhatian lebih banyak dalam perencanaan program kesehatan, agar program
tersebut menjadi efektif dan efisien.
e.
Akses
dan Cakupan
Akses
mengukur proporsi penduduk yang dapat mencapai suatu sarana pelayanan kesehatan
secara wajar, hal ini dapat diukur dengan jarak (mis: 5 / 10 km) , waktu tempuh
(mis: 12 jam berjalan kaki), biaya (mis: biaya perjalanan dan biaya berobat),
atau factor cultural (mis: kesenjangan social yang menyebabkan orang segan
berobat, hambatan bahasa dsb). Dalam program PPI (imunisasi), akses diukur
dengan proporsi sasaran yang mendapat imunisasiDPT 1.
Cakupan
adalah proporsi penduduk yang benar- benar menerima pelayanan kesehatan
tertentu, mis: persen ibu hamil yang memeriksa diri, persen rumah tangga yang
mempunyai sarana air bersih dsb. Dalam program PPI, cakupan diatur dengan
prosen sasaran yang mendapat imunisasi lengkap DPT 3, Polio 3, campak.
Sudah
jelas bahwa cakupan akan rendah apabila akses rendah. Akses menggambarkan
jangkauan pelayanan kesehatan, sedangkan cakupan menggambarkan kelengkapan
pelayanan kesehatan. Akses perlu ditingkatkan lebih dahulu sebelum cakupan
diperhatikan.
Cara mengukur akses. Suatu
cara yang mudah untuk memperkirakan akses adalah dengan membuat lingkaran
dengan radius 5 atau 10 km pada peta di sekitar setiap sarana kesehatan
(puskesmas, pustu, posyandu) dan menghitung jumlah penduduk yang tinggal di
dalam lingkaran tersebut.
Cara mengukur cakupan. Jumlah
sasaran yang mendapat pelayanan diperoleh dari laporan pelaksanaan program.
Jumlah sasaran yang seharusnya mendapat pelayanan diperoleh dari data
demografi.
Contoh:
Di kabupaten A yang
berpenduduk 200.000 jiwa, proporsi bayi dibawah usia 12 bulan adalah 4%
(menurut hasil sensus penduduk yang terakhir). Jadi jumlah bayi adalah 800
orang. Laporan imunisasi menunjukkan 2400 bayi di bawah 1 tahun telah mendapat
DPT 3 selama tahun yang silam. Makaupan DPT 3 = 2400/8000 x 100% = 30 %. Jika
cakupan nasional adalah 45%, dan target pelita adalah 80%, maka perencana di
Dati II harus berpikir keras; pertama perlu dikaji bagaimana akses terhadap
pelayanan imunisasi (berupa cakupan DPT 1); kemudian bagaimana droup-out nya,
yaitu (DPT 1-DPT 3/DPT 1, yang mencerminkan manajemenprogram imunisasi).
f.
Menyusun
rencana program kesehatan Dati II
Dengan menggunakan
pendekatan epidemiologi, sampai taraf ini perencana telah:
1
|
Menyelesaikan analisis situasi di wilayahnya
|
2
|
Menetapkan prioritas
untuk tahun yang akan datang atau pelita yang akan datang
|
3
|
Menetapkan kelompok
resiko tinggi yang akan menjadi sasaran program
|
4
|
Membeuat rencana
peningkatan akses dan cakupan dari program prioritas
|
5
|
Menetapkan tujuan
dan indicator untuk penilaian keberhasilan
|
Langkah
berikutnya adalah membuat kerangka rencana program jangka menengah (5 tahun);
setelah itu baru menyusun rencana tahunan yang terinci. Rencana tahunan adalah
cara untuk mencapai tujuan jangka menengah.
Setelah
proses diatas selesai, barulah dibuat rencana kegiatan (plan of action) yang
diperlukan agar rencana program dapat terlaksana. Perlu disadari bahwa
perencanaan program kesehatan adalah suatu hal yang rumit. Oleh karena itu
dianjurkan untuk memilih beberapa masalah yang penting saja dan tidak mencoba
melakukan perencanaan secara menyeluruh.
Langkah-
langkah yang dianjurkan dalam menyusun rencana kegiatan
g.
Penilaian
keberhasilan
Penilaian keberhasilan
suatu program kesehatan dapat dilakukan dengan 2 cara:
1) Menilai
apa yang telah dikerjakan (output) oleh program dibandingkan dengan apa yang
semula direncanakan.
2) Menilai
terjadinya perubahan pada indicator status kesehatan yang menggambarkan dampak dari program.
Biasanya
dampak program baru akan terlihat setelah program berjalan pada kurun waktu
beberapa tahun.
Bila suatu kegiatan harus dilakukan terus- menerus
selama setahun, ada baiknya dibuat grafik kumulatif untuk memantau kemajuan
dari bulan ke bulan. Target setahun dibagi 12 untuk mendapatkan target sebulan.
Contoh:
Di kabupaten A yang berpenduduk 200.000 jiwa, 4%
diantaranya adalah bayi usia 1 th (8000 bayi). Rencana program imunisasi adalah
memperbaiki cakupan DPT 3 tahun lalu (30%) sehingga mencapai cakupan nasional
sebesar 45%. Maka target bayi untuk DPT 3 tahun ini adalah 0.45% x 8000 = 3600 bayi. Target ini sebulan adalah 3600 : 12 = 300 bayi.
Cakupan DPT 3 selama 6 bulan pertama adalah: januari 310, februari 300, maret
280, april 240, mei 200, juni 170.
Bila
diakumulatifkan maka:
Bulan
|
Cakupan
bulanan
|
Cakupan
kumulatif
|
Januari
|
310
|
310
|
Februari
|
300
|
610
|
Maret
|
280
|
890
|
April
|
240
|
1130
|
Mei
|
200
|
1330
|
Juni
|
170
|
1500
|
Selama 6 bulan
pertama rata- rata cakupan adalah 250 bayi sebulan. Dari grafik terlihat bahwa
pada bulan- bulan pertama program berjalan sebagaimana diharapkan, tetapi
kemudian turun dibawah target. Hal ini menunjukkan perlunya dikaji sebab- sebab
mengapa program tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Alternatifnya adalah
mencoba meningkatkan kegiatan dan menetapkan target bulanan yang baru (350
bayi/ bulan) atau memutuskan bahwa target semula adalah ambisius, dan secara
realistis menurunkan target menjadi 250 /bulan, yang berarti 3000 /tahun, sama
dengan cakupan sekitar 38%. Ini sudah merupakan perbaikan dari hasil tahun
lalu, tetapi masih kurang dibandingkan dengan cakupan nasional tahun lalu.
V.
PENUTUP
Dari uraian diatas jelas bahwa pendekatan epidemiologi
sangat berguna dalam berbagai tahap pengelolaan program- program kesehatan.
Hasil guna dan daya guna suatu program kesehatan sangat ditentukan oleh
penggunaan informasi yang baik, yang dapat diperoleh dengan menerapkan
pendekatan epidemiologi.
No comments:
Post a Comment