TUGAS KELOMPOK
MATA KULIAH PENGEMBANGAN DAN PENGORGANISASIAN
MASYARAKAT
KAJIAN TENTANG JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT
Oleh Semester VI
:
1. Dwi Enggar Widi Saptana
2. Sulistiyanti Normaningsih
3. Wenang Triyatmo
4. Herdiana Widyastuti
5. Rini Sulistyoningrum
6. Trisniasih Nur S.
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HAKLI SEMARANG
PRODI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
TAHUN 2013
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kesehatan adalah hal yang melekat dalam diri setiap
orang. Ia tidak bisa dirampas oleh
siapa pun. Kondisi fisik ini ditakdirkan secara alamiah pada tubuh. Baik atau
buruk kondisi tubuh, pemilik tubuhnyalah yang merasakan. Oleh karena itu,
kebutuhan untuk mendapat kesehatan dan bebas dari keadaan tidak sehat adalah
hak bagi setiap orang, semenjak lahir sampai azal menjemputnya. Tidak ada
sedikit pengecualian apapun, bagi warga kelas menengah atas, rakyat akar rumput
bahkan gembel sekalian, sama derajat haknya mendapat perlindungan kesehatan
dari negara. Terkecuali warga negara yang hidup disebuah kondisi jaman batu dan
negara otoriterian, yang tidak pernah menghargai kesehatan individu.
Secara konstitusional, langkah pemerintah untuk
melakukan berbagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama bagi
kaum miskin dan kurang mampu patut mendapatkan dukungan nyata dari semua
kalangan. Didalam UUD 1945 pasal 28 H (1) menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Demikian juga di dalam pasal 34 (2) dinyatakan bahwa ”Negara mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Latar konstitusional
tersebut dipertegas lagi di dalam pasal 34 (3) yang menyatakan bahwa ”Negara
bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum yang layak”.
Telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah terhadap
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, salah satunya adalah dengan
mengembangkan program Asuransi Kesehatan bagi keluarga miskin (Askeskin) sejak
tahun 2005 hingga tahun 2007. Pada tahun 2008 program tersebut berubah nama
menjadi program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Apapaun nama dan
model apapun, yang pasti, semua program tersebut bertujuan untuk meningkatkan
aksesibilitas masyarakat terhadap pelayan kesehatan yang berkualitas.
2. Analisa tentang Sistem Pembiayaan Kesehatan
Sistem pembiayaan kesehatan didefinisikan sebagai
suatu sistem yang mengatur tentang besarnya dan alokasi dana yang harus
disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya
kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat.Biaya
kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu:
a. Penyedia
pelayanan kesehatan, merupakan besarnya dana yang harus
disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan.
b.
Pemakai jasa pelayanan, yang dimaksud dengan biaya kesehatan dari sudut pemakai
jasa pelayanan (health consumer) adalah besarnya dana yang harus disediakan
untuk dapat memanfaatkan jasa pelayanan.
Jumlah dana
pembiayaan harus cukup untuk membiayai upaya kesehatan yang telah
direncanankan. Bila biaya tidak mencukupi maka jenis dan bentuk pelayanan
kesehatannya harus diubah sehingga sesuai dengan biaya yang disediakan.
Distribusi atau penyebaran dana perlu disesuaikan dengan prioritas. Suatu
perusahaan yang unit kerjanya banyak dan tersebar perlu ada perencanaan alokasi dana yang
akurat. Sumber dana biaya kesehatan berbeda pada beberapa
negara, namun secara garis besar berasal dari :
a.
Bersumber dari anggaran pemerintah.
Pada sistem ini, biaya dan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah.
Pelayanannya diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah sehingga sangat jarang
penyelenggaraan pelayanan kesehatan disediakan oleh pihak swasta. Untuk negara
yang kondisi keuangannya belum baik, sistem ini sulit dilaksanakan karena
memerlukan dana yang sangat besar.
b.
Bersumber dari anggaran masyarakat.
Dapat
berasal dari individual ataupun perusahaan. Sistem ini mengharapkan agar
masyarakat (swasta) berperan aktif secara mandiri dalam penyelenggaraan maupun
pemanfaatannya. Hal ini memberikan dampak adanya pelayanan-pelayanan kesehatan
yang dilakukan oleh pihak swasta, dengan fasilitas dan penggunaan alat-alat
berteknologi tinggi disertai peningkatan biaya pemanfaatan atau penggunaannya
oleh pihak pemakai jasa layanan kesehatan tersebut.
c.
Bantuan biaya dari dalam dan luar negeri.
Sumber
pembiayaan kesehatan, khususnya untuk penatalaksanaan penyakit – penyakit
tertentu cukup sering diperoleh dari bantuan biaya pihak lain, misalnya oleh
organisasi sosial ataupun pemerintah negara lain. Misalnya bantuan
dana dari luar negeri untuk penanganan HIV dan virus H5N1 .
d.
Gabungan anggaran pemerintah dan masyarakat.
Sistem
ini banyak diadopsi oleh negara-negara di dunia karena dapat mengakomodasi
kelemahan – kelemahan yang timbul pada sumber pembiayaan kesehatan sebelumnya.
Tingginya biaya kesehatan yang dibutuhkan ditanggung sebagian oleh pemerintah
dengan menyediakan layanan kesehatan bersubsidi. Sistem ini juga menuntut peran
serta masyarakat dalam memenuhi biaya kesehatan yang dibutuhkan dengan
mengeluarkan biaya tambahan.
3.
Tujuan
Kajian
Adapun
tujuan dilaksanakannya kajian ini adalah:
a.
Untuk mengetahui sejauhmana tingkat keberhasilan
penerapan Asuransi Kesehatan.
b.
Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mendukung atau
menghambat eberhasilan penerapan Asuransi kesehatan.
c.
Untuk memperoleh berbagai lesson learned dari
penerapan Asuransi kesehatan bagi penerapan jaminan
kesehatan masyarakat (Jamkesmas).
d.
Untuk mengetahui pemecahan masalah jaminan kesehatan
masyarakat melalui upaya pemberdayaan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
DAMPAK PEMBIAYAAN KESEHATAN
TERHADAP MASYARAKAT
1. PEMBIAYAAN KESEHATAN PADA MASYARAKAT
Adapun pembiayaan kesehatan pada masyarakat
bisa dibedakan menjadi:
a.
Asuransi Kesehatan Sosial ( Social Health Insurance )
Mempunyai
prinsip bahwa kesehatan adalah sebuah pelayanan sosial, pelayanan kesehatan
tidak boleh semata mata diberikan berdasarkan status sosial masyarakat sehingga
semua lapisan berhak untuk memperoleh jaminan pelayanan kesehatan. Asuransi
Kesehatan sosial dilaksanakan dengan menggunakan prinsip sebagai berikut:
§ Keikutsertaan
bersifat wajib
§ Menyertakan
tenaga kerja dan keluarganya
§ Iuran /
premi dihitung berdasarkan persentase gaji/ pendapatan
§ Premi untuk tenaga kerja ditanggung
bersama oleh pemberi pekerjaan dan tenaga kerja
§ Premi tidak ditentukan oleh risiko
perorangan tetapi didasarkan pada risiko kelompok ( Collective risk sharing )
§ Tidak
diperlukan pemeriksaan kesehatan awal
§ Jaminan pemeliharaan kesehatan yang
diperoleh bersifat menyeluruh ( Universal coverage )
§ Peran pemerintah sangat besar untuk
mendorong berkembangnya asuransi kesehatan sosial di Indonesia. Semua
pegawai negeri diwajibkan untuk mengikuti asuransi kesehatan.
Di Indonesia,
asuransi kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil dan penerima pensiun dikelola oleh
PT ASKES. Asuransi kesehatan bagi tenaga kerja dikelola oleh PT Jamsostek.
b.
Asuransi Kesehatan Komersial Perorangan ( Private Voluntary Health
Insurance )
Model asuransi kesehatan seperti ini juga berkembang di
Indonesia. Premi dapat dibeli oleh individu maupun segmen masyarakat menengah
keatas. Asuransi Kesehatan Komersial perorangan mempunyai prinsip kerja sebagai
beikut:
·
Kepesertaannya bersifat perorangan dan
sukarela.
·
Iuran/ Premi berdasarkan angka absolut,
ditetapkan berdasarkan jenis pelayanan yang dipilih.
·
Premi berdasarkan atas risiko perorangan
dan ditentukan oleh faktor usia, jenis kelamin, dan jenis pekerjaan.
·
Dilakukan pemeriksaan kesehatan awal
·
Peranan pemerintah relatif kecil.
Di Indonesia,
produk asuransi kesehatan komersial dikelola oleh persahaan asuransi swasta
antar lain Lippo life, BNI life, Tugu Mandiri dsb.
c.
Asuransi Kesehatan Komersial Kelompok ( Regulated Private Health
Insurance )
Jenis
asuransi ini merupakan alternatif lain dari sistim asuransi kesehatan komersial
dengan prinsip prinsip dasar sebagai berikut:
·
Keikutsertaannya
bersifat sukarela tapi berkelompok
·
Iuran/ preminya dibayar berdasarkan atas
angka absolute
·
Perhitungan
premi bersifat community rating yang berlaku untuk kelompok masyarakat.
·
Santunan ( jaminan pemeliharaan
kesehatan diberikan sesuai dengan kontrak)
·
Tidak diperlukan pemeriksaan awal
·
Peranan
pemerintah cukup besar dalam membuat peraturan perundang undangan.
Di Indonesia
jenis asuransi seperti ini adalah Asuransi Kesehatan Sukarela yang juga
dikelola oleh PT ASKES.
Bagaimana dengan masyarakat miskin?
Pembiayaan
kesehatan untuk pegawai negeri sipil, sebagian pekerja swasta dan warga dengan
tingkat perekonomian menengah keatas adalah jelas dimana pembiayaan ditanggung
oleh negara, perusahaan dan pribadi dengan mekanisme dan di dukung oleh
perundang-undangan yang jelas.
Sedangkan,
untuk warga miskin akan tampak bahwa pembiayaan kesehatan adalah ditanggung
oleh pemerintah tetapi dengan mekanisme dan ketidakpastian seperti transparansi
jaminan, besaran premi dan pengelolaan yang terbatas. Hal tersebut yang
menimbulkan permasalahan pada masyarakat.
Untuk itu,
masyarakat harusnya dibina untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran agar
dapat mengelola sistem pembiayaan kesehatan secara kolektif dari bantuan yang
diberikan oleh pemerintah dengan usaha kesehatan berbasis masyarakat seperti
pengembangan usaha air bersih, pengelolaan sampah, pembuatan kelompok apotik
sehat dll.
2.
MANFAAT
PADA MASYARAKAT
Pembiayaan kesehatan akan terasa bermanfaat bagi
masyarakat bila sudah pernah atau akan dipakai dalam menjangkau atau mengakses
pelayanan kesehatan. Pembiayaan kesehatan akan bergeser dengan seiring waktu
dari ke pembiayaan pelayanan pengobatan ke usaha pencegahan
(preventif-promotif) dengan semakin meningkatnya pemahaman kesehatan pada
masyarakat.
Ditunjang dengan tingkat kesejahteraan / perekonomian
yang terus membaik, sehingga permasalahan kesehatan yang dulu pada penyakit
infeksi beralih ke penyakit modern. Tetapi untuk jenis-jenis penyakit modern
justru akan membutuhkan biaya yang besar mengingat jenis pemeriksaan yang
dibutuhkan mahal, sehingga bila masyarakat indonesia saat ini tidak disertai
dengan asuransi kesehatan maka akan terasa berat dan menjadi beban negara dalam
pembiayaannya.
3. PERMASALAHAN
Masalah
utama program Askeskin adalah sulitnya mengidentifikasi peserta dan belum
adanya standard tarif pelayanan kesehatan di Indonesia. Selama ini orang miskin
hanya dianggap sebagai nomor atau jumlah angka-angka. Mereka dijadikan komoditas dan objek pembangunan guna pencairan dana
proyek. Dalam mekanisme asuransi social, identitas orang per orang peserta
asuransi harus jelas dan tegas. Untuk itu, data kependudukan sampai pada
tingkat perorangan (data mikro) harus lengkap tersedia. Tidak cukup bila hanya
mengandalkan data makro dari Biro Pusat Statistik. PT Askes sangat tergantung
kepada Pemerintah Daerah yang seharusnya bertanggung jawab menyediakan data
mikro kependudukan.
Dengan demikian, permasalahan di sekitar
Askeskin ini hendaknya menjadi momentum semua pihak untuk berbenah dan
menyadari betapa pentingnya mengubah pola pikir dan strategi pembangunan ke
arah yang lebih berorientasi pada wawasan kependudukan, baik kuantitas maupun
kualitas yang diukur dari indikator kesehatan, pendidikan, dan daya beli rakyat
serta Paradigma Sehat.
A. Masalah Dalam Pembiayaan Kesehatan
Masalah
pokok yang sering ditemui
dalam pembiayaan kesehatan:
a.
Kurangnya dana yang tersedia
Kurangnya dana sering terkait dengan
masih kurangnya kesadaran pengambil keputusan akan pentingnya arti kesehatan.
Kebanyakan pengambil keputusan menganggap pelayanan dan pemeliharaan kesehatan
hanyalah beban yang bersifat konsumtif dan tidak bersifat produktif, sehingga
kurang mendapat prioritas.
b.
Penyebaran dana yang tidak sesuai
Perbedaan fasilitas yang diberikan
kepada karyawan yang dilihat dari sudut lama masa kerja, jabatan/golongan,
terkadang menimbulkan masalah tersendiri, terlebih lagi adanya kecenderungan
dari karyawan dengan jabatan yang tinggi, lebih memilih dan menuntut fasilitas
yang lebih baik pula.
c.
Pemanfaatan dana yang tidak tepat
Selama ini banyak tumbuh sifat-sifat
boros dalam pola konsumsi pelayanan kesehatan, baik dari sisi penyelenggara
pelayanan kesehatan maupun dari sisi karyawan. Pihak penyedia pelayanan
kesehatan akan berusaha memperbesar keuntungan dengan jalan melakukan berbagai
pemeriksaan kesehatan yang berlebihan menggunakan bermacam-macam alat canggih
yang ada, memperlama waktu rawat inap pengguna jasa, dan pembebanan biaya-biaya
administrasi yang berlebihan. Hal ini akan menimbulkan pembengkakan terhadap
biaya kesehatan yang dianggarkan.
d.
Pengelolaan dana yang belum sempurna
Pengelolaan dana yang tepat dan
terdokumentasi dengan baik sangat membantu pelaksanaan sistem pembiayaan
kesehatan yang ada, meskipun dana yang dianggarkan terbatas. Hal ini
berkaitan dengan kemampuan, pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental
pengelolanya.
B. Pelaksanaan
Pembiayaan Kesehatan di Indonesia dan Upaya Pemberdayaan Masyarakat
a. Pelaksanaan
Pada tahun 2000 hanya 12,71% penduduk Indonesia yang
memiliki asuransi kesehatan. Nilai ini semakin meningkat dengan adanya program
Askeskin sejak 2005. Pada tahun 2007, sebanyak 29,18% penduduk Indonesia telah
memiliki asuransi kesehatan. Pada tahun 2010 nilai
ini meningkat menjadi 42,6% terdiri dari 9,3% non Jamkesmas dan 33,2%
Jamkesmas.
Masalahnya adalah belum semua masyarakat terutama
masyarakat miskin dan kurang mampu, dapat menjangkau akses pelayanan kesehatan
yang diberikan oleh pemerintah, apalagi jika bicara pada level kualitas
pelayanan kesehatan. Banyak indikator yang bisa dilihat, namun kesemuanya itu
belum mampu menunjukkan peningkatan kualitas atau derajat kesehatan masyarakat
terutama masyarakat miskin dan kurang mampu. Atas dasar latar belakang inilah
perlu untuk melakukan evaluasi terhadap penerapan Askeskin di Indonesia.
Kajian yang menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif
ini menggunakan metode focus group discussion (FGD) diharapkan dapat diperoleh
data yang jauh lebih lengkap. Dengan melibatkan berbagai pimpinan instansi
terkait seperti Pemerintah daerah (Dinas Kesehatan), PT Askes, LSM, kalangan
akademisi, dan pelaksana pelayanan kesehatan (PPK) seperti Puskesmas dan Rumah
Sakit, kajian ini mengambil lokus di 6 kabupaten/kota di tiga provinsi yaitu
provinsi Jawa Timur (Kabupaten/Kta Malang), DI Yogyakarta (kabupaten Sleman dan
kota Yogyakarta) dan Provinsi Riau (Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru).
Tentu, tiga provinsi tersebut belum mampu mewakili keseluruhan daerah di
Indonesia, namun berbagai hasil dari kajian ini dpat dijadikan cermin bagi
pelaksanaan Jamkesmas di masa datang.
b.
Hasil dan Temuan
Program Askeskin
Dari
hasil FGD di daerah tersebut, beberapa temuan yang penting untuk diungkapkan
sebagai hasil dari kajian ini adalah sebagai berikut:
Ø
Aspek
kepesertaan.
Permasalahan
yang ditemui adalah:
·
Belum
semua Bupati/Walikota menetapkan data masyarakat miskin
·
Ketidaktepatan
sasaran di mana masih ada pengguna SKTM yang berasal dari masyarakat non-miskin
yang memanfaatkan pelayanan kesehatan dari Program Jamkesmas
·
Belum semua sasaran Program Jamkesmas mendapatkan
kartu peserta.
Salah
satu hal penting dalam aspek kepesertaan adalah belum siapnya data yang akurat
akibat perbedaan perhitungan antara data BPS (yang selama ini dijadikan patokan
oleh Departemen Kesehatan) dengan data dari pemerintah daerah. Perbedaan
ini antara lain dipicu pendekatan dan persepsi yang berbeda dalam proses
pendataan di masyarakat.
Dari manapun
sumber data yang akan digunakan oleh pemerintah (baik BPS maupun data dari
Pemerntah Daerah) sebenarnya tidak ada masalah, namun dasar penetapannya harus
melalui kriteria yang rasional dan obyektif.
Tentu saja
hal ini sangat penting jika merujuk pada kriteria yang ditetapkan oleh
pemerintah dimana kriteria orang miskin dan tidak mampu adalah yang rumahnya
masih menggunakan lantai tanah.
Selain itu,
aksesibilitas masyarakat miskin dan kurang mampu dalam memperoleh pelayanan
kesehatan masih terganggu oleh banyaknya kalangan masyarakat mampu yang
berusaha mendapatkan pelayanan Askeskin melalui pembuatan Surat Keterangan
Tidak Mampu (SKTM). Akibatnya, beban anggaran Pemda yang dialokasikan lewat
APBD akan semakin berat. Data kepesertaan Jamkesmas yang akan digunakan mulai
tahun 2012 pemberlakukannya akan
ditetapkan oleh menteri kesehatan. Dengan
demikian, kepesertaan jamkesmas masih mengikuti kebijakan tahun lalu. Kendala-kendala yang dialami tahun-tahun
sebelumnya juga masih dihadapi seperti
banyaknya kelahiran baru, kematian, pindah tempat tinggal, perubahan tingkat sosial ekonomi,
dan masih terdapatnya penyalahgunaan rekomendasi
dari institusi yang berwenang,
penyalahgunaan kartu oleh yang tidak berhak, masih ada peserta kesulitan mendapatkan Surat Keabsahan
Peserta (SKP) bagi bayi baru lahir
dari peserta Jamkesmas, masyarakat miskin penghuni panti sosial dan lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan,
masyarakat miskin korban bencana pasca
tanggap darurat. Permasalahan tersebut di atas disebabkan masih belum adanya kesamaan
persepsi antara Verifikator
Independen, Petugas Askes di lapangan dan fasilitas kesehatan.
Ø Aspek pendanaan.
Permasalahan yang ditemukan:
·
Masih
adanya Rumah Sakit yang belum menggunakan dana secara optimal
·
Masih
banyak pemerintah daerah yang menerapkan kebijakan untuk menyetorkan dana
langsung ke kas daerah
·
Hutang pelayanan program Askeskin tahun 2007
·
Prosentase pembiayaan obat terhadap biaya total pelayanan
kesehatan masih di bawah 50%.
·
Belum komprehensifnya pemahaman penyelenggaraan pola pembayaran dengan INA-CBGs terutama oleh
dokter dan petugas lainnya yang
menyebabkan belum terlaksananya pelayanan yang
efisien dan mengakibatkan biaya pembayaran paket seringkali dianggap tidak mencukupi;
·
Ketepatan waktu pengiriman klaim, yaitu ketidaktepatan
waktu dalam mengirimkan
pertanggungjawaban klaim. Dengan demikian, perlu kerja keras rumah sakit dan Tim Pengelola
Pusat dan Daerah agar
pertanggungjawaban keuangan dapat diselenggarakan sesuai dengan pengaturannya.
·
Pengorganisasian, Peran dan Fungsi Pemerintah Daerah Peran, tugas dan fungsi Tim Pengelola dan
Tim Koordinasi Provinsi/Kabupaten/Kota
dirasakan masih belum dapat berjalan secara
optimal. Kendala yang dihadapi adalah operasional kegiatan seperti kegiatan sosialiasi, advokasi, monitoring,
evaluasi dan pelaporan dalam keuangan
serta kinerja pelayanan kesehatan masih belum berjalan sebagaimana mestinya. Beban kerja Tim
pengelola Jamkesmas provinsi,
kabupaten/kota semakin tinggi dengan adanya daerah-daerah yang melaksanakan Jamkesda termasuk pemanfaatan
tenaga verifikator independen oleh
daerah.
Beberapa
permasalahan penting yang selama ini menjadi kendala terkait dengan aspek
pendanaan adalah terkait dengan payung hukum cost sharing atau dana
pendamping dari pemerintah daerah. Oleh karena itu perlu komitmen daerah
dalam pelaksanaan program Jamkesmas
dan Jamkesda secara harmonis, dan
menghindari duplikasi anggaran.
Departemen
dalam negeri belum mengatur tentang mekanisme pencairan dana pendamping
tersebut, sehingga seringkali pemerintah daerah kesulitan mencairkan anggaran
yang berasal dari sumber APBD tersebut.
Penyaluran
dana secara langsung ke PPK baik untuk Puskesmas dan jaringannya serta rumah
sakit, meskipun lebih menguntungkan karena PPK lebih memiliki diskresi untuk
mengelola anggarannya, namun hal ini tidak mendapatkan dukungan dari Departemen
Dalam Negeri yang masih menganggap bahwa puskesmas dan jaringannya serta Rumah
sakit merupakan instansi di bawah pemerintah daerah, bukan instansi vertikal
dari departemen kesehatan. Secara psikologis hal ini mengganggu proses
penyaluran dana Pusat untuk program Askeskin ini.
Selain
berbagai kendala itu, kendala lainnya juga masih sangat mengganggu penyelenggaraan
program Askeskin antara lain pencairan dana yang tidak tepat waktu sehingga
menghambat operasional pelayanan khususnya pada Rumah Sakit.
Ø Aspek organisasi.
Permasalahan
yang dihadapi diantaranya adalah:
·
Sosialisasi
program masih belum optimal pada seluruh stakeholder terkait
·
Koordinasi Tim Pengelola Jamkesmas Propinsi dan
Kab/ Kota belum berjalan dengan optimal
·
Mekanisme pelaporan pelaksanaan kegiatan
Jamkesmas dari Dinas Kesehatan Propinsi ke Depkes belum berjalan seperti
yang diharapkan.
Perbedaan
terminologi kendali biaya selama ini terjadi karena terdapat persepsi berbeda
antara pihak Rumah sakit dan PT. Askes. Bagi rumah sakit, pelayanan kesehatan
kepada masyarakat miskin adalah tugas rumah sakit yang tidak bisa ditolak.
Karena itu, rumah sakit akan selalu menerima semua pasien yang memiliki
identitas sebagai masyarakat miskin. Selain itu, rumah sakit harus dihadapkan
pada mutu layanan dan lebih ke arah kendali mutu.
Sementara
pihak PT Askes mendasarkan pada pilihan efisiensi, sebagai konsekuensi dari
tugas pokok dan fungsi PT Askes dalam penyelenggaraan program Askeskin sebagai
pengendali biaya.
Selain
itu, pensosialisasian program Askeskin juga masih belum optimal, sehingga masih
banyak masyarakat miskin dan kurang mampu yang belum mengetahui program
Askeskin ini. Meskipun demikian, tingkat utilisasi pelayanan kesehatan
sebenarnya sudah sangat bagus (16,7 persen) melebihi target keberhasilan yang
ditetapkan pemerintah.
Ø Aspek pelayanan kesehatan.
Permasalahan yang ditemukan
adalah:
·
Pemanfaatan
Program Askeskin/Jamkesmas oleh masyarakat miskin belum optimal, sehubungan
dengan adanya penyalahgunaan SKTM oleh kelompok yang tidak berhak
·
Sistem rujukan belum berjalan sebagaimana mestinya
·
Masih
dilakukan tindakan yang berlebihan
·
Kendali
mutu dan kendali biaya pelayanan kesehatan di RS belum Optimal
·
Verifikator
independen belum mendapatkan pelatihan secara optimal disebabkan terhambat
masalah pendanaan.
·
Masih
terdapat penolakan pasien Jamkesmas dengan alasan kapasitas rumah sakit sudah
penuh (meskipun kasusnya sangat sedikit),
·
Penetapan
status kepesertaan Jamkesmas atau bukan peserta Jamkesmas sejak awal masuk
Rumah Sakit, belum dipatuhi sepenuhnya oleh peserta.
Namun demikian, berdasarkan
inidikator keberhasilan penyelenggaraan program askeskin / jamkesmas ini,
program ini relatif berhasil terutama jika dilihat dari aspek utilisasi
pelayanan kesehatan yang tersedia di Puskesmas dan Rumah Sakit.
Ø Aspek pemantauan dan evaluasi.
Seringkali tim pemantau dan
evaluasi bertindak secara tidak berkisinambungan, sehingga pelaksanaan Askeskin
berjalan tanpa ada koordinasi.
Padahal posisi tim pemantau dan
evaluasi ini sangat penting dalam mengawal pelaksanaan setiap tahap program
Askeskin. Dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi lebih bersifat formalitas
semata. Perbaikan berkelanjutan selama kurun waktu tahun 2005 – 2007 belum
berkembang secara signifikan, terutama dalam masalah kepesertaan dan
independensi verifikator keuangan.
c. Upaya
Pemecahan Masalah Pelaksanaan
Dari berbagai persoalan di atas, berikut ini
diberikan saran rekomendasi agar penyelenggaraan program Jamkesmas bisa berjalan
lebih baik, sebagai berikut:
Ø Perlu ketegasan pemerintah untuk
menetapkan sistem pendataan nasional yang berkelanjutan, agar peserta Jamkesmas
tidak lagi salah sasaran. Untuk itu perlu diusulkan model Single Identity
Number sebagai kartu multiguna yang salah satunya dapat difungsikan sebagai
kartu Jamkesmas.
Ø Hal itu sekaligus dapat digunakan
untuk mengatasi permasalah pelayanan kesehatan yang selama ini tidak optimal.
Apalagi ketidakoptimalan pelayanan kesehatan selama ini karena munculnya
berbagai bentuk penyalahgunaan SKTM.
Ø Perlu
Surat keputusan bersama antara menteri kesehatan dan menteri dalam negeri agar
tidak terjadi mispersepsi tentang penyelenggaraan program Jamkesmas ini. Hal
ini misalnya masih adanya persepsi bahwa rumah sakit dan puskesmas tidak bisa
mendapatkan dana langsung dari pemerintah pusat. Padahal program Jamkesmas merupakan program untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin.
Ø Perlu tindak lanjut penempatan
Tim verifikator, karena hingga saat ini masih banyak rumah sakit yang belum
ditempatkan Tim Verifikator. Disamping itu, konsekuensi penempatan Tim
Verfikator juga harus dipikirkan oleh pemerintah karena hingga saat ini masih
ada pemahaman bahwa Tim verfikator menjadi tanggungjawab pemerintah daerah.
Ø Pendekatan
Health economics yang menerapkan prinsip-prinsip ekonomi pada fenomena dan
masalah-masalah kesehatan dan pembiayaan kesehatan. Health economics berfokus
pada dua hal, yakni mobilisasi dana dan belanja kesehatan yang efisien. Pada
2005, WHO menekankan perlunya mobilisasi dana untuk cakupan jaminan sosial.
Sebagai contoh, obat murah sering tidak diyakini efektif, sedangkan obat yang
satuannya mahal belum tentu kurang Cost Effective dalam jangka panjang.
Terkadang, pasien kurang menyakini kondisi yang demikian. Akibatnya, terjadi
banyak pemborosan, baik karena penggunaan obat murah tapi kurang efektif
ataupun obat mahal yang tidak tepat.
Suatu biaya kesehatan yang baik
haruslah memenuhi beberapa syarat pokok
yaitu:
Ø Jumlah.
Syarat utama dari biaya kesehatan
haruslah tersedia dalam jumlah yang cukup. Yang dimaksud cukup adalah dapat
membiayai penyelenggaraan semua upaya kesehatan yang dibutuhkan serta tidak
menyulitkan masyarakat yang ingin memanfaatkannya.
Ø Penyebaran.
Berupa penyebaran dana yang harus
sesuai dengan kebutuhan. Jika dana yang tersedia tidak dapat dialokasikan
dengan baik, niscaya akan menyulitkan penyelenggaraan setiap upaya kesehatan.
Ø Pemanfaatan.
Sekalipun jumlah dan penyebaran dana
baik, tetapi jika pemanfaatannya tidak mendapat pengaturan yang optimal,
niscaya akan banyak menimbulkan masalah, yang jika berkelanjutan akan
menyulitkan masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan.
Untuk dapat melaksanakan syarat –
syarat pokok tersebut perlu dilakukan beberapa hal, antara lain:
Ø Peningkatan efektifitasnya.
Peningkatan efektifitas dilakukan dengan
mengubah penyebaran atau alokasi penggunaan sumber dana. Berdasarkan pengalaman
yang dimiliki, maka alokasi tersebut lebih diutamakan pada upaya kesehatan yang
menghasilkan dampak yang lebih besar, misalnya mengutamakan upaya pencegahan,
bukan pengobatan penyakit.
Ø Peningkatan efisiensi.
Peningkatan efisiensi dilakukan
dengan memperkenalkan berbagai mekanisme pengawasan dan pengendalian.
Mekanisme
yang dimaksud untuk peningkatan efisiensi antara lain:
·
Standar minimal pelayanan.
Tujuannya
adalah menghindari pemborosan. Pada dasarnya ada dua macam standar minimal yang
sering dipergunakan yakni:
o
standar minimal sarana,
misalnya standar minimal rumah sakit dan standar minimal laboratorium.
o
standar minimal tindakan,
misalnya tata cara pengobatan dan perawatan penderita, dan daftar obat-obat
esensial.
Dengan
adanya standard minimal pelayanan ini, bukan saja pemborosan dapat dihindari
dan dengan demikian akan ditingkatkan efisiensinya, tetapi juga sekaligus dapat
pula dipakai sebagai pedoman dalam menilai mutu pelayanan.
·
Kerjasama.
Bentuk lain yang diperkenalkan untuk
meningkatkan efisiensi ialah memperkenalkan konsep kerjasama antar berbagai
sarana pelayanan kesehatan. Terdapat dua bentuk kerjasama yang dapat dilakukan
yakni:
o Kerjasama
institusi, misalnya sepakat secara bersama-sama membeli peralatan
kedokteran yang mahal dan jarang dipergunakan. Dengan pembelian dan pemakaian
bersama ini dapat dihematkan dana yang tersedia serta dapat pula dihindari
penggunaan peralatan yang rendah. Dengan demikian efisiensi juga akan meningkat
o Kerjasama sistem, misalnya sistem rujukan, yakni
adanya hubungan kerjasama timbal balik antara satu sarana kesehatan dengan
sarana kesehatan lainnya.
d.
Upaya Pemecahan Masalah (Paradigma
Sehat) Melalui Pemberdayaan Masyarakat
Paradigma sehat mengubah cara
pandang terhadap masalah kesehatan baik secara makro maupun mikro. Secara
makro, berarti bahwa pembangunan semua sektor harus memperhatikan dampaknya
dibidang kesehatan, minimal memberi sumbangan dalam pengembangan lingkungan dan
perilaku sehat. Secara makro, berarti bahwa pembangunan kesehatan harus
menekankan pada upaya promotif dan preventif, tanpa mengesampingkan upaya
kuratif dan rehabilatif.
Permasalahan kesehatan terus
dilakukan, terutama dalam perubahan paradigma sakit yang dianut oleh masyarakat
ke paradigma sehat guna meningkatkan derajat kesehatan. Paradigma sakit yang
dimaksud adalah upaya untuk membuat orang sakit menjadi sehat, sedangkan
paradigma sehat adalah upaya membuat orang sehat tetap sehat. Dengan kata lain,
paradigma sakit menekankan pada pelayanan kuratif (pengobatan) dan
rehabilitatif (pemulihan), sedangkan paradigma sehat menekankan pada pelayanan
promotif dan preventif (pencegahan), dengan tidak mengesampingkan pelayanan
kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan).
Perubahan paradigma ini juga
merubah pemeran dalam pencapaian kesehatan masyarakat, dari pemerintah menjadi
masyarakat itu sendiri dengan tidak mengesampingkan peran pemerintah dan
petugas kesehatan. Perubahan paradigma tersebut menjadikan masyarakat sebagai
pemeran utama dalam pencapaian kesehatan masyarakat. Dengan kata
lain, perubahan paradigma tersebut bertujuan untuk membuat masyarakat menjadi
mandiri dalam menjaga kesehatannya, sesuai dengan visi Indonesia sehat, yaitu
“Masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan”.
Hal ini sesuai juga dengan amanat
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, bahwa
pembangunan kesehatan harus ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,
dan kemampuan hidup masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi
pembangunan sumber daya masyarakat.
Ø Pemberdayaan
Masyarakat
Dalam
rangka pencapaian kemandirian kesehatan, salah satu unsur pentingnya adalah
pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan merupakan
sasaran utama dari promosi kesehatan. Masyarakat atau komunitas merupakan salah
satu dari strategi global promosi kesehatan pemberdayaan (empowerment) sehingga
pemberdayaan masyarakat sangat penting untuk dilakukan agar masyarakat sebagai primary
target memiliki kemauan dan kemampuan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan mereka.
Pemberdayaan
masyarakat ialah upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan masyarakat dalam mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi, dan
meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2007). Batasan
pemberdayaan dalam bidang kesehatan meliputi upaya untuk menumbuhkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan sehingga
secara bertahap tujuan pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk menumbuhkan
kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman akan kesehatan individu, kelompok, dan masyarakat,
menimbulkan kemauan yang merupakan kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan
atau sikap untuk meningkatkan kesehatan mereka, dan menimbulkan kemampuan
masyarakat untuk mendukung terwujudnya tindakan atau perilaku sehat.
Dengan
kata lain, Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk membuat masyarakat menjadi
mandiri, dalam arti memiliki potensi untuk mampu memecahkan masalah-masalah
kesehatan yang dihadapi, dan sanggup memenuhi kebutuhannya dengan tidak
menggantungkan hidup mereka pada bantuan pihak luar, baik pemerintah maupun
organisasi-organisasi non-pemerintah.
Walaupun
demikian bantuan technical assistance (Technical Assistance adalah
program pelatihan dengan materi yang merupakan perpaduan teori dan praktek yang
diberikan secara khusus melalui pendampingan dari para pakar dalam bidangnya) tetap
diberikan, namun bantuan tersebut harus mampu membangkitkan prakarsa masyarakat
untuk membangun bukan sebaliknya justru mematikan prakarsa. Dalam hubungan ini,
kita dituntut menghargai hak-hak masyarakat, yaitu Right of Self - Determination
dan Right for Equal Opportunity. Hak untuk menentukan sendiri untuk
memilih apa yang terbaik bagi masyarakat, serta hak untuk memperoleh kesempatan
yang sama untuk berkembang sesuai dengan potensi-potensi yang mereka miliki.
Dengan kata lain, melalui pemberdayaan masyarakat ini masyarakat diharapkan
tahu, mau, dan mampu hidup sehat secara mandiri.
Suatu
masyarakat dikatakan mandiri dalam bidang kesehatan apabila mereka mampu
mengenali masalah kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah
kesehatan terutama di lingkungan tempat tinggal mereka sendiri. Pengetahuan
tersebut meliputi pengetahuan tentang penyakit, gizi dan makanan, perumahan dan
sanitasi, serta bahaya merokok dan zat-zat yang menimbulkan gangguan kesehatan,
mereka mampu mengatasi masalah kesehatan secara mandiri dengan menggali
potensi-potensi masyarakat setempat, mampu memelihara dan melindungi diri
mereka dari berbagai ancaman kesehatan dengan melakukan tindakan pencegahan,
dan mampu meningkatkan kesehatan secara dinamis dan terus-menerus melalui
berbagai macam kegiatan seperti kelompok kebugaran, olahraga, konsultasi dan
sebagainya.
Adapun
prinsip pemberdayaan masyarakat adalah menumbuhkembangkan potensi masyarakat.
mengembangkan gotong-royong masyarakat, menggali kontribusi masyarakat,
menjalin kemitraan, dan desentralisasi.
Dalam
pemberdayaan masyarakat peran masyarakat sangat vital, karena masyarakat yang
menjadi pemeran utamanya, namun peran petugas kesehatan juga tidak bisa
dihilangkan. Dalam pemberdayaan masyarakat, petugas kesehatan memiliki peran
penting juga, yaitu memfasilitasi masyarakat melalui kegiatan-kegiatan maupun
program-program pemberdayaan masyarakat meliputi pertemuan dan pengorganisasian
masyarakat, memberikan motivasi kepada masyarakat untuk bekerja sama dalam
melaksanakan kegiatan pemberdayaan agar masyarakat mau berkontribusi terhadap
program tersebut, mengalihkan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi kepada
masyarakat dengan melakukan pelatihan-pelatihan yang bersifat vokasional.
Adapun
beberapa ciri-ciri pemberdayaan masyarakat, diantaranya adalah yang pertama, Community
leader, yaitu petugas kesehatan melakukan pendekatan kepada tokoh
masyarakat atau pemimpin terlebih dahulu. Misalnya Camat, lurah, kepala adat,
ustad, dan sebagainya. Yang kedua, Community organization, yaitu
organisasi seperti PKK, karang taruna, majlis taklim, dan lainnnya merupakan
potensi yang dapat dijadikan mitra kerja dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
Yang
ketiga, Community Fund, yaitu Dana sehat atau Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang dikembangkan dengan prinsip gotong royong
sebagai salah satu prinsip pemberdayaan masyarakat. Yang keempat, Community
material, yaitu setiap daerah memiliki potensi tersendiri yang dapat
digunakan untuk memfasilitasi pelayanan kesehatan. Misalnya, desa dekat kali
pengahasil pasir memiliki potensi untuk melakukan pengerasan jalan untuk
memudahkan akses ke puskesmas.
Yang kelima, Community
knowledge, yaitu pemberdayaan bertujuan meningkatkan pengetahuan masyarakat
dengan berbagai penyuluhan kesehatan yang menggunakan pendekatan community
based health education. Dan yang keenam, Community technology, yaitu
teknologi sederhana di komunitas dapat digunakan untuk pengembangan program
kesehatan misalnya penyaringan air dengan pasir atau arang.
Dalam
pelaksanaannya, pemberdayaan masyarakat masih merupakan permasalahan yang rumit
dan kompleks, karena berhubungan dengan perubahan perilaku masyarakat, di mana
dalam perubahan perilaku tersebut berhubungan dengan adat istiadat, sosial,
ekonomi, dan faktor lainnya yang ada di masyarakat. Faktor adat istiadat
merupakan tantangan terberat dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat, karena
mempengarungi kepercayaan dan kebiasaan sehari-hari masyarakat.
BAB III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
A.
Reformasi di bidang kesehatan terus bergulir secara
konsisten, yang hasilnya diharapkan akan menjamin pelayanan kesehatan secara
merata, bermutu dan efisien
B.
Dalam menjalankan program pembangunan di bidang kesehatan
pemerintah menjalankan misi dan visi di bidang kesehatan dan merubah paradigma
kesehatan dari kuratif dan rehabilitative bergeser menjadi preventif dan
edukatif dan paradigma kesehatan juga diubah dari sentralisasi menjadi
disentralisasi, sehingga tidak terpusat oleh pemerintah pusat tetapi diserahkan
kepada masing-masing daerah karena tiap-tiap daerah mempunyai problem
masing-masing.
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat,serta menurunkan angka kematian ibu dan anak yang biasanya terjadi ketika ibu melahirkan, oleh karena itu pemerintah meluncurkan program jampersal dan jamkesmas yang diharapkan dapat menurunkan angka kematian dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat,serta menurunkan angka kematian ibu dan anak yang biasanya terjadi ketika ibu melahirkan, oleh karena itu pemerintah meluncurkan program jampersal dan jamkesmas yang diharapkan dapat menurunkan angka kematian dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
2.
SARAN :
A.
Sebagian dari masalah kesehatan adalah
merupakan masalah nasional yang tidak dapat terlepas dari berbagai kebijakan
dari sector lain sehingga upaya pemecahan ini harus secara strategis melibatkan
sector terkait. Isu utama tersebut adalah bagaimana upaya meningkatkan
kerjasama lintas sektoral yang lebih efektif karena kerjasama lintas sektoral
dalam pembangunan kesehatan selama ini sering kurang berhasil, banyak program
nasional yang terkait dengan kesehatan, tetapi pada akhirnya tidak atau kurang
berwawasan kesehatan
B.
Mutu sumber daya manusia kesehatan
sangat menentukan keberhasilan upaya serta manajemen kesehatan. Sumber daya
manusia kesehatan yang bermutu harus selalu mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi dan berusaha untuk menguasai IPTEK yang
tinggi/mutakhir.
C.
Pemberdayaan atau kemandirian masyarakat
dalam upaya kesehatan sering belum seperti yang diharapkan. Kemitraan yang
setara, terbuka, dan saling menguntungkan bagi masing-masing mitra dalam upaya
kesehatan menjadi suatu yang sentral untuk upaya pembudayaan perilaku hidup
sehat, penetapan kaidah hidup sehat dan promosi kesehatan.
D.
Mutu pelayanan kesehatan sangat
dipengaruhi oleh kualitas sarana fisik, jenis tenaga yang tersedia, obat, alat
kesehatan dan sarana penunjang lainya, proses pemberian pelayanan dan
kompensasi yang diterima serta harapan masyarakat pengguna.
DAFTAR PUSTAKA
4.
http://tentang-penelitian.blogspot.com/2013/02/gambaran-pelayanan-kesehatan-pasien-jamkesmas.html.
5.
Permenkes
No 40 Tahun 2012 tentang Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
6.
Permenkes
No 903 Tahun 2011 tentang Pedoman Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
7.
Republik Indonesia, (2008), Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 125/Menkes/SK/II/2008, tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
No comments:
Post a Comment